Thursday, November 22, 2007

socialite goes to village (2)



Tiba sudah di desaku, Sukamulya...
oh Tuhan..Banyak perubahan yang terjadi di desa ini..
Sawah sawah yang tadinya terhampar di dataran sekeliling desa, kini berubah menjadi dataran rumah-rumah kontrakan pegawai pabrik. Pabrik-pabrik tekstil kini mengelilingi desa Sukamulya...serasa terkepung kepentingan kapitalis...

Perasaan ini sama ketika pemukiman kami di Jakarta dikepung oleh ITC-ITC yang menjual pakaian... namun di desa ini bukan tokonya yang mengepung, tapi pabriknya langsung....

Pelajaran tak henti untuk kami, bahwa kota bisa kalah dengan desa..Desa adalah tempat lahirnya nenek moyang kami. Kota hanyalah tempat kami mengadu nasib..
Desa adalah hulu dari sungai hirarki sejarah kehidupan kami....dan kebetulan saat ini, desa memiliki masalah yang sama dengan kota, sama-sama terkukung oleh komersialisme... kami di kota dikepung oleh ITC yang seolah mengajak kami untuk berbelanja, berbelanja, dan berbelanja...sedangkan saat kami di desa, pabrik tekstil telah mengepung, menawarkan ribuan lowongan pekerjaan untuk para pengolah tanah agar beralih menjadi buruh pabrik..

Nilai-nilai awal dan akar kehidupan kami dapatkan di desa. Namun akar itu mungkin sudah banyak yang tercabut dan rusak. Bahwa memang kami dahulu lahir di desa ini, namun semuanya hanya bersisa di kepala dan mungkin sedikit bersisa pada nama kami yang berbau kedesa-desaan...

Tak terasa hari sudah sore...
Orang-orang mulai banyak berjalan ke arah lapangan di depan balai desa. Kutanyakan, ternyata sedang ada kampanye pilkades. Kali ini salah satu calon membawa artis dangdut kota kembang....

hehe..ku tersenyum. Teman-teman yang lain ikut tersenyum. Ternyata kata "kota" masih menjadi racun pemikat warga desa untuk soal hiburan. Aku jadi berpikir, bahwa matinya seni tradisional mungkin saja akibat paradigma ini. Orang desa tak lagi bangga pada kesenian yang mereka punyai. Apapun yang menarik selalu dari kota, desa sudah tak punya rasa percaya diri lagi untuk urusan produktivitas.
Bahkan pabrik-pabrik tekstil yang menyebarkan limbah ke tanah-tanah desa ini pun menjadi idola untuk tempat mencari kerja yang praktis. Lumbung-lumbung padi mulai kekurangan stok, karena petani malas menanam padi...orang desa sudah teracuni oleh komersialisme ala kota

Kami rombongan dari jakarta berjalan agak cepat ke rumah nenekku, karena hari sudah merambat gelap...Listrik jalanan yang masi disuplai oleh kincir air di mata air desa mulai menyala. Suasana terasa sendu...Dengan sinar kekuningan dari lampu jalanan membuat suasana yang serba menguning...benar-benar nikmat untuk dilalui...benar-benar suasana pedesaan..

Thursday, October 18, 2007

socialite goes to village (1)





Akhirnya kami, gerombolan urbanistis (urbanis kritis)--para buruh (pikir) kasar-- sepakat pulang ke rumah tercinta di desa Sukamulya. Desa yang berjarak 25km dari kota Bandung. Tak banyak persiapan untuk mudik kali ini. Yang berbeda hanya tas-tas baru yang masih harum kain kanvas. Sebagian harum yang setengahnya mirip dengan "harum" asap polusi pabrik saat melewati pabrik-pabrik tekstil yang berjajar di perjalanan menuju desa, namun ditambah sedikit H2S (aroma buang angin), hingga hidung dan mulut terasa berdebat dengan keadaan itu.Haha.

Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan. Kami berlima, Nodi, Putra, Mika, dan Asep saling mengingat kejadian-kejadian masalalu ketika masih sekolah bersama di desa. Kami ingat jalan ke sekolah kami yang harus ditempuh melewati pematang-pematang sawah. Ada saja hal lucu yang terjadi bila pergi ke sekolah maupun pulang ke rumah.Paling sering ya pasti menginjak kotoran, kotoran dari pelbagai macam makhluk, dari makhluk yang dianggap paling rendah, yaitu cacing hingga makhluk yang dianggap paling tinggi derajatnya, ya manusia....

Kami semakin tertawa ketika membandingkan manfaat tai dari masing-masing makhluk tadi...cacing sebagai makhluk yang sederhana mengeluarkan tai yang setara dengan humus, tai yang sangat bermanfaat tentunya bagi kesuburan tanah. Sedangkan manusia sebagai makhluk tingkat tertinggi malah mengeluarkan tai yang lebih banyak unsur "ekspresif,dan mencari perhatian", dengan baunya yang seolah mencari perhatian hidung... kami terbahak mengingatnya...

Hmmm...perjalanan mudik kali ini persis seperti saat pulang dari sekolah, menuntut ilmu di jaman kecil dulu. Pulang sekolah, yang teringat diotak bukanlah pelajaran-pelajaran dari pak guru. Yang teringat malah ocehan pak Guru yang marah saat ada teman sekelas yang tak bisa pakai sepatu karena tercebur ke sawah. Kami geli mengingat kata-kata pak Guru, "Lain kali sepatunya dipakai di sekolah saja, bila pulang Kau bungkus pake plastik kresek,lalu kau bawa tinggi-tinggi"....

Bila sepatu dipakai hanya untuk menciptakan "image" bahwa kita "nyakola"...yah...bisa jadi otak hanya alas agar ego bisa "mengekspresikan gaya anak nyakola"...gak penting...<-hehe..umpatanjaman sekarang...

Ucapan pak Guru malah membuat kami malas mendengarkan kata-kata pelajaran sekolah yang diucapkan oleh mulutnya. Pelajaran sekolah seolah hanya menjadi basa-basi.

Perjalanan pulang sekolah lah yang malah banyak memberi pelajaran pada kami. Hal-hal baru di perjalanan membuat kami penasaran. Seperti ketika kami berdebat menemukan binatang yang mirip belut. Nodi dan putra yakin itu ular, bukan belut. Sebaliknya Mika dan Asep yakin itu belut. Perdebatan tidak berlangsung lama saat binatang itu bergerak. Belut bergerak meluncur lurus, ular bergerak meliuk-liuk. Liukan ular sangat khas, gerakan yang mengundang orang untuk menyentuh, lalu kemudian dipatuknya. Kami pernah mendengar kisah liukan ular itu, dari seorang petani yang dipatuk ular lalu terkapar di genangan sawah. Untung pak tani itu selamat, karena ular sawah tak begitu berbisa. Dia hanya mengalami sedikit kram. Satu hal yang pak tani itu ingat, "hati-hati dengan liukan ular yang memutar".

Liukan ular yang memutar, sebuah perilaku ular yang banyak diadopsi oleh pekerja-pekerja ibukota. Berusaha bergerak indah agar umpannya tertarik untuk menyodorkan sisi lemah tubuhnya...dan "snap!"...si korban pun disengat hingga keram tak berdaya.....hehe....Kami terbahak-bahak lagi membahas imajinasi dan ingatan yang berlebihan ini...

Pulang dari sekolah, dan pulang dari kota...sama-sama melepas ketegangan otak....saat inilah nilai perjalanan terasa begitu mahal...lebih mahal dari kumpulan pundi-pundi uang dan hapalan-hapalan yang diraih di kota maupun di sekolah..

Pelajaran saat perjalanan pulang...adalah pelajaran sesungguhnya...
perjalanan saat menemukan pelajaran dan makna, dengan melepas semua beban di otak...adalah perjalanan yang sesungguhnya...


Pesta Blogger 2007

Tuesday, October 16, 2007

SEttingan Baru..Gaya baru... Lagak baru...tetap di kota lama...Jayakarta...nenek moyangnya Jakarta

akhirnyaaaa....
account blogger saya aktif kembali. Setelah dilanda masalah internet yang lambat di kantor, baru minggu-minggu ini saya bisa kembali mengaktifkan blog saya di account blogger.com.
Blogger payah saat dibuka dikantor, untuk membuka tampilan muka blogger.com saja butuh waktu 30menit. Itu belum sign-in, bener-bener sebuah usaha ngeblog yang makan ati..haha..kalo kata anak abg akut sekarang.. cape deh...

Mulai sekarang blog urban journal akan saya khususkan pada tulisan-tulisan jurnalistik yang ringan berisi sentilan-sentilan untuk ibukota... karena untuk menulis tulisan jurnalistik berat (yang harus pake 4W+1H) kayaknya bukan keahlian khusus saya. Tulisan ringan yang mungkin punya rumus berbeda 4E(Euleuh-euleuh,Edan Euy)+1A(Asik coy...)

Keahlian khusus saya mungkin ya menyentil, sebuah keahlian yang muncul akhir-akhir ini. Ternyata itulah hebatnya ibukota, terlalu banyak hal ,point-poin, dan masalah-masalah yang bisa kita bungkus dalam kemasan baru, yang ternyata bisa lebih menarik untuk dinikmati... hehe...daripada tenggelam dalam cairan masalah ibukota yang seakan mendidih, mending kita nikmati secangkir masalah yang hangat..layaknya secangkir kopi hangat...mungkin itu sedikit ilustrasi tentang tulisan-tulisan yang akan saya tulis..


Pesta Blogger 2007

Monday, August 28, 2006

Perseteruan Lantai Realita vs Lantai Layar Kaca



Semakin banyak saja kejadian-kejadian aneh yang hadir di balik kaca tivi.... untunglah realita yang melingkupi gw belum seaneh kayak di tivi. Realita teraneh yang gw lihat sendiri palingan cuman hujan angin yang membuat atap-atap asbes di rumah berbunyi seperti suara motor 2 tak...taktraktaktaktaktak....

Bunyi bising di jam empat pagi yang membuat aku terjaga...huehehe...sukurlah..jadi ga telat nonton bola--kalo pas ada bola di RCTI, atau tipi7---lumayan bisa nonton, walau paling pertandingan hanya bersisa 10 menitan lagi...
Apa hubungannya kejadian aneh di tipi dengan acaara bola??...nah lo...otak kritis (atau krisis?)* yang jahil mulai menyeruak dari otak belel gw...ini dia nih sebenernya yang pengen gw ulas di boy lit** ini..

Acara bola , khususnya liga inggris, itali dan spanyol..tidak mengenal waktu..dalam artian...acara itu sudah dengan arogansinya sendiri mempengaruhi para fansnya untuk tidak merasakan waktu...mu jam berapa saja...terserah...yang penting cuman satu..tim kesayangannya bisa menang... apabila kita (yang ngefans pada sebuah tim) melewatkan pertandingannya...seolah kitalah yang bersalah...hmm..Dan satu hal lagi, dan ini menurut gw adalah sebuah hal yang 'agak' serius, realita kita,...apakah disekeliling kita sedang hujan angin, apakah di chanel-chanel lain sedang ada berita kebakaran, teror, dan lain, lain,...kita sudah terkadung menganggap realita pertandingan sepakbola lebih penting dari realita-realita lain yang mengelilingi kita....

Menyukai satu hal, akan menyebabkan kita tertarik untuk lebih dekat dengannya, kalaupun perlu menjadi bagian dari hal tersebut. Dan bisa gw bilang, sebuah klub sepakbola yang sangat kita cintai, bisa menjadi sebuah kebenaran!. Gak percaya?, coba saja bayangkan, saat kita asyik menonton acara bola yang kita sukai, tiba-tiba orang tua atau saudara (yg seharusnya sangat kita cintai juga) memindahkan chanel acara tivi pertandingan bola tersebut. Hanya ada satu kesimpulan, ada personal lain yang berbuat "salah" pada kita. Salah dalam artian, dia tidak benar, dia tidak 'sesuai' dengan kita. Kita siapa? diri kita dan klub sepakbola kesayangan? ataukah diri kita dan orang tua yang melahirkan kita??.....haha...dalam hal ini, ada satu hal yang bisa terbersit di otak krisis ini....kebenaran adalah sebuah rasa kepemilikian...sebuah rasa yang bersifat personal, satuan...merasa menjadi satu...bukan sebuah rasa yang bersebrangan dengan diri kita.....
Gw mulai merasa ngeri, apabila akhirnya kita menjadi bersebrangan dengan realita yg sebenarnya. Realita sebenarnya yang gw maksud adalah realita dimana kita berada, dimana kita memijak. Dibawah kita pasti ada lantai, nah, itulah lantai realita kita...bukan lantai rumput lapangan sepakbola, yang ada dibalik layar tipi....Betapa menyeramkannya apabila kita telah merasa, lantai kita adalah lapangan sepakbola, dan orang-orang yang berada selantai dengan kita (orangtua dan saudara yg duduk di sebelah kita) adalah sebuah komponen yang bersebrangan dengan kita, bukan bagian kebenaran dari kita. Ketika kita merasa menjadi bagian lain dari sebuah kebenaran realita. Ketika kita menjadi "benar" yang lain. Hmm...pastinya sebuah kesalahan yang akan terjadi...di kemudian hari...dan kemungkinan besar kesalah itu dirasakan oleh orang lain...bukan kita...(sebenarnya pada keadaan itu adalah sebuah sebuah kondisi Mayday bagi diri kita )
Apa yang terjadi di televisi hanyalah sebuah gambaran "lantai-lantai"/realita lain yang kita lihat, dan tidak kita pijak. Apa jadinya apabila kita merasa memiliki realita-realita lain tersebut? Apa jadinya apabila kita merasa berhak untuk ikut memijakkan diri di lantai-lantai lain tersebut?, tentunya sebuah kegalauan yang akan kita rasakan..... Apa jadinya apabila kita sudah mengabaikan waktu-waktu yang mengikat kita direalita yang kita pijak? tentunya kekacauan ritme berfikir yang kita alami. Benar adanya kita hidup di dalam sebuah ritme tertentu, ada ritme yang muncul akibat orang lain, ada ritme yang muncul akibat diri kita sendiri, dan ada ritme yang muncul ketika kita berinteraksi dengan sebuah kondisi alam.
Tak terasa, alam bawah sadar kita dipengaruhi oleh ritme-ritme yang mengibuli dan memprovokasi mimpi kita. Ada ritme2 yang bisa mengkatalis mimpi kita untuk menyeruak dalam realita kita sesungguhnya, menjadi realita-realita semu yang kontradiktif... Yang tidak memberikan solusi pada realita sebenarnya yang penuh masalah.....
Nah inget-inget masalah...gw jadi berfikir...kok ilustrasinya gak nyambung ya??...ilustrasinya kok gambar truk dikelilingi siluet hitem orang?....hehe...sebenarnya itu cuman buat gambaran kecil doang...bahwa realita pun ga harus sesuai dengan mimpi--> ilustrasi pun ga harus sesuai dengan isi narasi....bukankah perbedaan membuat kita berfikir? ataupun apabila kita tak mau berfikir....ya minimal mengumpat...itu pun sudah cukup, cukup buat pembaca boylit** ini sadar, bahwa ada masalah lain yang lebih penting......bagi dirinya....
==========================================================

sekedar ngiseng nambah nambahin keterangan kata-kata yang berbintang:
* gw dan beberapa rekan di jakarta ini memang sempat berbicara tentang pembentukan koalisi urbanistis...urbanis kritis..kritis dalam artian fisik...bukan pemikiran....kritis dalam artian..butuh ditolong
** hehe..terus terang..gw mual pas ngarang istilah boylit...tapi apa boleh buat...biar ada ide..gw harus ada tekanan...bukankah mual adalah sebuah tekanan fisik dan psikis....hehe..ide memang bisa dipaksakan loh..)...

Tuesday, May 09, 2006

Cihuy...Ketika Semua menjadi penting!



Sebuah pernyataan yang narsis bila kita masih menegaskan diri hidup di dalam jaman edan....yah betul, narsis. Narsis karena toh memang sekarang jaman edan...sehingga kita tak perlu mengulang keedanan itu di mulut kita... (Tetoongg!! mengulang kata e-d-a-n)....mengulang keedanan adalah sebuah kekonyolan...walau itu hanya dari mulut yang terucap..

Saat semua terasa konyol, maka semua tindakan serius terlihat seperti sebuah drama yang dipenuhi penonton-penonton yang skeptis, sehingga semua yang ada dipanggung terlihat tidak ideal....hoho,

Tak ada lagi posisi yang ideal dalam bersosialisasi. Semua ingin setara. Yap..betul, memang kesetaraan adalah bagian dari elemen keadilan. Tapi mungkin sebenarnya kesetaraan hanya diperlukan sebagai "pengikat" sebuah komunitas.

..tak lebih..dan tak kurang. ,…kesetaraan tak lebih dari “lem-nya” komunitas…


Mungkin hal itu lah penyebab dari kondisi edan suredan ini bisa terjadi. Semua individu merasa menjadi subjek, dan tidak berminat untuk menjadi objek. Semua individu ingin memainkan predikatnya...dan tidak ada yang ingin untuk memainkan predikat-predikat milik orang lain.. Semua ingin melakukan sesuai dengan caranya (predikatnya) sendiri, itu maksud saya.

Rasa keseteraan membuat setiap individu menjadi terasa terikat..dan keterikatan itu menjadi penting..shingga seolah keterikatan n berubah menjadi subjek bagi individu. Keterikatan menimbulkan rasa sakral yang bernama kebanggaan. Apabila individu telah bangga akan akan kesetaraannya, maka individu tersebut akan menjadi objek dari yang namanya kebanggaan. Dan ketika kondisi itu terjadi….Dhuar…maka dalam waktu yang tak lama lahir sebuah system. sistem adalah predikat yang mengatur objek untuk mengikatnya dalam sebuah rasa kebanggaan (yang telah berposisi sebagai subjek)….…..dan fantastiknya….yang membuat system adalah objek-objek individu itu sendiri…

Subjek-->Predikat--> Objek, adalah peristiwa yang dibilang aktif (kalo dalam kalimat disebut sebagai kalimat aktif), dan Objek-->Predikat -->Subjek, adalah sebuah peristiwa yang dibilan pasif...

Lalu siapakah yang harus menjadi Objek saat orang-orang orang berebut untuk menjadi subjek dan bersama-sama menempatkan diri menjadi objek dari sebuah aturan tertentu...

Hidup memang membutuhkan keseimbangan..
Hidup memang membutuhkan yin dan yang
Hidup memang membutuhkan Predikat..agar jelas posisi kita...agar jelas orang melihat kita....

Monday, May 01, 2006

MENYAMAR DI AIR KERUH



"Saya kira semua orang tahu, saya itu paling dekat dengan buruh. Saya tadi langsung terjun ke lapangan tapi menyamar tidak berpakaian seperti menteri," kata Erman di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (1/5/2006) malam........(sumber detik.com 1 mei 2006)


Jadi inget cerita raja-raja di buku dongeng...ketika raja sering menyamar di tengah rakyatnya ..agar mengetahui isi hati rakyatnya...
Kalo dibanding-bandingkan...rasanya agak geli juga... ada 2 hal yang membuat cerita Pak Mentri menjadi menggelikan..yang pertama ..dia bukan raja...dia adalah pembantu raja...pembantu raja saja sudah senang menyamar...lalu rajanya senang ngapain?....menghilang??..hehehe.... mudah-mudahan kejadian ini masuk daftar sentilan Republik BBM (Acara parodi politik di Indosiar)....

Hal yang kedua...apa perlu menyamar di jaman keterbukaan seperti ini?...ketika semua keinginan rakyat sudah terpampang besar sekaliii...1m x 6m untuk spanduk yang dibawa bawa para demonstran...atau yang lebih tragis lagi...baligo2 iklan rokok.."tanya-ken-apa" itu kan sebenarnya kan protes halus masyarakat juga...dan sangat sering kita dengar dan lihat....lah!!..kurang keras gimana coba..keinginan rakyat yang segitu dahsyatnya..masih ga di "mudheng"i sama para pamong itu...apakah mereka budeg?..sampe keinginan rakyat pun masih belum terdengar?...sampe harus menyamar segala untuk mendengar orang-orang yang berteriak agar derita mereka didengar..sedikiiiit saja......sedikiiiitt...saja...(jadi ingat dialog pelm 30 hari mencari cinta..saat nirina zubir marah ke pacarnya--rocker ketombean-- di pinggir kolam air mancur)..

Kalo dipikir terus...kayaknya ga akan ada gunanya...toh ngapain juga kita mikir hal-hal tolol dengan serius..sehingga dahi berkerut.....kecuali kita memang sedang berusaha untuk belajar menjadi bodoh....

Demo buruh hari Senin berakhir dengan sukses...demo hanya berlangsung sampai tengah hari..karena ada jaminan dari komisi IX DPR untuk tidak akan merevisi UU tenaga kerja....dan jalanan pun di sore hari lancar kembali..
Buruh bisa kembali dengan tenang ke rumahnya di pinggir-pinggir kota...
mereka tak tahu harus berkata apa lagi selain rasa syukur bisa bekerja dengan tenang...
seperti ikan yang berenang di air yang tenang di telaga... ..yg saling bercengkrama...

Nah, saya jadi ngebayangin hal indah.....Mungkin jika sang menteri bisa menyamar di keadaan tenang...dan bercengkrama dnegan buruh sehingga tau kebutuhan dan keprihatinan sang buruh... keadaannya mungkin bisa lebih antisipatif,komunikatif, dann iinteraktif...tdiak seperti sekarang yang defensif, masif, dan sok atraktif, seperti saat ini...(fffff….fuih…banyak f nya yak)

Bukan sang ikan yang membuat keruh...tapi manusia yang ingin memakan ikan-ikan lah yang mengeruhkan telaga.....

Friday, April 28, 2006

JAKARTA SIAGA SATUU!



Tentara dan Polisi kembali berbaris, bergerak menuju lapangan apel di tengah kantor gubernur...
Semua menyiapkan diri menghadapi "Badai Curhat para Buruh" di hari senin mendatang...

Sebuah realita yang pragmatis, ketika penguasa berbicara, mereka bisa memakai senjata sebagai ''stempel" kebenaran atas tindakan-tindakan mereka. Menembak rakyat mungkin dianggap sebuah tindakan yang bisa "memagari" teritori kekuasaan mereka agar tidak bisa dimasuki ego-ego rakyat kecil.

Tahun-tahun ini memang sangat men-jengah-kan, ketika para penguasa terlihat bobroknya, ternyata mereka hanyalah para penjudi, yang mempertaruhkan negeri sendiri untuk mendapatkan keuntungan semu. Kemenangan bagi mereka hanyalah kepuasan sesaat, di saat pundi-pundi mengalir ketika menjual rumah sendiri. Ketika anak-istri kehilangan tempat tinggal dan mulai menangis,mereka panik..Namun dasar penjudi, dianggapnya bertaruh dengan harta sendiri adalah sebuah jalan yang terbaik untuk menolong anak istri.

Harta yang terkuras, rumah yang tergadai, dan anak istri yang menangis,hanyalah sebagian kecil dari warna-warna dan simbol-simbol analogi kebobrokan sifat para penguasa. Mungkin Senin nanti adalah "perang rumah tangga", dimana para istri dan anak teriak minta makan, dan para suami malah marah dan melempar piring-piring agar semua isi rumah terdiam, sehingga istri seraya terisak membiarkan suami pergi begitu saja...pergi untuk berjudi lagi.

Oh..betapa susahnya mencari nafkah, ketika kita lebih suka bergantung , berjudi dan berhutang pada orang yang benar-benar mendapatkan uang dengan cara mencari nafkah...

Lebih baik menjadi orang jahat yang mencari nafkah..daripada menjadi orang baik yang berhutang...mungkin prinsip ini harus menjadi alternatif kepura-puraan baru...prinsip ini jauh lebih baik daripada kita harus mati dalam keadaan putus asa...KARENA BUKAN HANYA MEREKA PARA PENGUASA YANG BERHAK HIDUP...KITA PUN BERHAK UNTUK HIDUP

Thursday, April 27, 2006

WASPADA MERAPI




Pagi, 28April, Jumat Kliwon...

..Gunung yang meletus dan serba-serbinya menjadi santapan utama media-media ibukota. Dari bagaimana cara dan perilaku manusia menyikapi ancaman, sampai kepada tebak-tebakan apa yang akan terjadi setelah gunung merapi meletus.

..."Malam ini merupakan puncak kemungkinan Merapi akan meletus, Saya akan menantinya di rumah, ucapnya. Bagi Ismanto dan Masyarakat Terlebih lagisekarang ini dipercaya adalah siklus 1000 tahunan letusan Merapi....(Sumber Kompas, hari Jumat 28 April 2006)...

Sesaat lagi kita akan melihat kedahsyatan alam. Alam yang berbicara. Saat alam bicara, semua elemen yang "menempel" padanya hanyalah seolah "kotoran-kotoran" yang harus dibersihkan. Dibersihkan kadang berarti juga disadarkan, dibangunkan, atau bahkan ditiadakan. Manusia ditiadakan oleh alam saat alam berbicara.
Sudah menjadi kebiasaan, proses "peniadaan" terhadap sosok manusia akan menjadi drama-drama yang menghebohkan. Dari suara-suara isak tangis, sampai suara-suara doa yang meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan. Bahkan menjadi kesempatan-kesempatan baru bagi manusia-manusia untuk mencari "keuntungan". Mulai dari keuntungan yang bersifat oportunistis, sampai keuntungan yang didapat dari sebuah proses pembelajaran terhadap suatu peristiwa.

Masih kita ingat, betapa tsunami Aceh telah meniadakan ratusan ribu bangsa Aceh. Dan ratusan ribu lainnya yang masih hidup ditantang untuk bangkit dan membalikkan keadaan yang telah dibalik oleh gulungan-gulungan hitam tsunami...
Contoh bencana Aceh adalah sebuah teladan besar dari alam. Bencana Aceh mengingatkan kita, kewaspadaan manusia hanyalah kenisbian.
Ketika nanti letusan datang, maka tak perlu kita menyesalkan kesalahan-kesalahan atas kewaspadaan kita yang masih kurang. Karena toh kita sudah berbuat maksimal untuk tidak mati. Dan itu akan menjadi awal baru untuk menapak hidup yang lebih baik.

SAat alam berbicara telah datang, hal itu bukan untuk kita waspadai, tapi alam berbicara agar kita bisa membersihkan diri... agar kita bisa lebih dekat lagi pada alam , dan agar kita bisa sadar, bahwa kita bukanlah siapa-siapa, dimata Pencipta Alam Semesta