Manusia itu hebat, sekaligus juga rapuh, jika membiarkan dirinya dalam rasa tahu yang menutup ketidaktahuan.
Menyaksikan serial kisah para illustrator Disney di Disney+hotstar sungguh membuat saya merenung. Dari semua illustrator, motifnya karena ada "calling"... Ada panggilan yang menggerakkan. Beyond self. Kalo cuma skill doang, memang ga akan sampai puncak. Apalagi modal sikut. 10 tahun bertahan itu si itungannya masa tenggang.
Banyak yang mempelajari sesuatu dengan mengabaikan support system di luar dirinya. Ya, keluarga itu salah satu (dan biasanya restu ibu/istri jika sudah menikah cukup dominan). Tapi ada banyak support system lain, yang baru terlihat saat kita melakukan analisa diri dengan helicopter view.
Support system ini berada dalam blind spot kita. Perspektif "self" seringkali tidak akan mendeteksi support system ini, hingga pada satu titik biasanya terasa. Di titik 0, atau di titik di mana kita menyerahkan diri kita pada kehendak semesta, di saat kita melawan arus besar.
Jika memang suara hati kita harus melawan sesuatu yang memang bagi kita terasa "tidak manusiawi", lawan semampunya. Jika memang sudah tidak kuat, serahkan pada semesta. Ga harus menyerah. Karena semesta punya sistem yang ajib. Kekuatan diri itu fungsinya memang untuk tahu batas.
Tepatnya: jangan menyerah. Kembalikan semua urusan ke sistem semesta. Maka perlahan/ada yang cepat juga si, kita mulai rasakan support system yang bekerja dengan indah (biasanya membuat speechless).
Support system yang ada di blindspot kita bisa dipetakan dengan beberapa cara, banyak si. Biasanya memanfaatkan "entitas pemantul", berupa partner, yang bisa menjadi penjaga ritme. Karena tanpa ritme yang baik, susah untuk memetakan sesuatu, apalagi memetakan diri.
Nama metodenya bisa beragam, ada case clinic, ada yang namanya retret, ada yang namanya tadabbur, ada yang namanya tafakur... Semua itu arahnya satu: Singkronisasi. Banyak terkait dengan pace (ritme pikir, ritme nafas, ritme aktivitas) diri dan sekitar. Lebih tentang ritme. Meditasi, kontemplasi, itu tools yang beda. #imho kontemplasi, meditasi, itu akan lebih mangkus dan sangkil saat singkronisasi sudah baik. Pace sudah terpetakan. Malah meditasi, kontemplasi, itu bagi saya sudah kategorinya "senjata", tools yang bisa dipakai untuk menyimpul, mengubah dan memecah. Cenderung resiko jika pace belum bener.
Lalu apa itu mindfulness? Bagi saya itu semacam nge-route, mengurai kembali jalur, merasakan value yang ada dari setiap titik titik momen. Ya sehari cukup sehari lah. 1/3 malam/pagi #imho. Karena melelahkan dan takes time untuk recovery nafas. Karena bisa nangis-nangis juga.
Kenapa menulis tentang beginian? Karena akan datang momen dimana butuh ruang nafas kita lebih besar.... Apalagi kalo yang ruang nafasnya sudah keserang ketakutan akan pandemi dll. Akan butuh banyak momen untuk jaga pace dan singkronisasi, tepatnya demikian ;)
No comments:
Post a Comment