Wednesday, April 08, 2020

Saat Merah dan Biru bertemu di Malam Berbulan Purnama



Saya pernah mengunggah status di sosial media, isinya bahwa sebuah postingan dan komen itu kedudukannya tidak setara. Komen itu bisa dibilang pangkat n dari sebuah status X. Jadi meladeni komen di sosial media itu seperti mengucek pakaian yang sudah dibubuhi deterjen. Buih membuncah, dan pakaian kita jadi bersih. Yap, entitas yang menempel pada pakaian itu bagi saya seperti niatan. Niatan untuk berbuat sesuatu bisa hilang hanya gara-gara meladeni komen. Pakaiannya sendiri netral, sebagai penutup dan pengisi sebuah konteks. 

Niatan, atau intention dalam bahasa Inggris adalah sebuah modal untuk menambah value dari apapun yang kita lakukan. Baik hal rutin maupun tak rutin. Niatan ini seperti panggilan yang muncul dari kesadaran (consciousness). Niatan ini yang membuat ritual menjadi bernilai ibadah atau bernilai lebih sistemik dalam sebuah struktur sosial.


Sebelumnya saya menganggap bahwa cerita dari sebuah produk bisa membuat produk memiliki nilai lebih. Iya mungkin itu masih benar. Tapi cerita bisa dibangun dari template yang sudah ada, dan akhirnya sebuah produk beresiko berisi cerita kopong. Cerita juga bisa terbangun dari niat, bahkan cerita bisa terbangun dari kesadaran kita saat memahami sebuah benda. Untuk hal ini saya akan menjelaskannya di postingan tersendiri setelah tulisan ini. 

Kenapa saya selalu menyinggung kesadaran (consciousness)? Ya, karena itu inti dari kita ber-hidup. Hidup adalah sadar. Tidur sendiri adalah lag/gap/dilatasi, yang memiliki makna lain. Bisa jadi pembuat ritme, bisa juga jadi pemutar adonan rasa. Tapi saya lebih meyakini  sadar dan tidur bukanlah urusan telor dan ayam. Saya bisa meyakini sadar adalah titik 0 manusia. Sadar lebih dulu ada, baru ada ketidaksadaran.  Saat sadar kita bisa berkoneksi, berkoneksi, berkoneksi, hingga muncullah kesadaran kolektif. Jika sebuah produk lahir dari sebuah kesadaran kolektif, maka tinggal tunggu waktu produk tersebut meledak di pasar. Jika hanya berupa needs yang  tak sadar, atau hanya jadi pengganjal kesadaran lain, ia bisa saja menjulang. Tapi jadi candu, sebuah cycle kehidupan yang memutus, tidak menghidupkan. 

Akhirnya, needs dan intention akan mengisi hari-hari kita di era serba cepat, beralur dinamis, dan bermakna penuh hirarki. Kita hanya butuh lebih banyak merasakan pijakan. Benturan yang mulai terasa ritmenya, keramaian yang mulai sayup, dan akhirnya merasakan satu titik sunyi, hanya kita dan sosok Pencipta. Saat terhubung dengan pencipta, kita merasakan khusyuk walau di dalam ruang terbising. Bisa merasakan ritme, dan jika mau, bisa menentukan ritme.  

Tulisan ini saya buat di saat langit berhias supermoon, udara berisi kedukaan atas wafatnya orang-orang baik, malam terkumpulnya catatan, dan sertifikat adaptive leadership yang ga saya duga bisa saya dapatkan.  Saat saya bilang baik, berarti bukan tentang pribadi. Tapi pengaruhnya pada luar dirinya (outer-me), pada pijakannya. Pada negerinya. Pada langitnya. 




Malam ini malam Nisfu Sya'ban, bagi saya malam penuh makna. Malam di mana semua catatan tak lagi catatan, tapi sebuah gambaran perbuatan yang terkumpul dan terhubung padaNya. Saat semua terhubung padaNya, maka ruang dan waktu hanyalah mainan orang-orang yang masih menanyakan  kenapa hidup ini berisi penuh ketidaksetaraan, seperti pangkat n pada status x. 

Ya sejatinya kita adalah 0. Dan selalu 0. Sebaik apapun yang kita lakukan, Itu semua hak semesta. Kita hanya dipercaya, hanya simpul, yang diikat oleh Pencipta. Bukan simpul mati. Mungkin hanya sesaat. 

Saya rasa itu renungan pagi ini. Sedikit puisi penutup di hari yang penat ini


Di masa benar terlihat salah

Biarkan ritual terlihat telanjang,
yang mentah melihat riya.
yang matang melihat Pencipta, yang ada di mana-mana, bahkan di hadapan ciptaan.

Esensi, ubun-ubun, pijakan,
semua semesta ciptaan. .
.
Biarkan berisik
hingga terasa kesunyian itu
hadir dari ruang terdalam
yang hanya dikunjungi Pencipta

#supermoon











No comments: