kata merdeka pun sebenarnya simbol dari kata: jangan pernah terjajah! seatompun!. Jika simbol mulai menjemukan, teriakan makna aslinya :)
Sunday, December 24, 2017
Partikel Penjaga Madani
Sebuah obrolan Higgs-Bosson di grup alumni, membuka pintu untuk beberapa kemungkinan ke mana kapal bernama indonesia ini berlabuh.Betapa setiap partikel memiliki cycle, dan setiap ciptaan memiliki ritmenya. Lalu apakah peran Higgs-Bosson?
Tak usahlah disebut partikel Tuhan, karena tak mencipta, cukup untuk memelihara. Cukup saja panggil partikel kuncen, atau mungkin lebih cocok partikel dukun. Dan "dukun" bergerak bukan karena kuasanya, tapi kesadarannya, bahwa ia bagian dari yang lain, yang harus berkomunikasi. Lalu anggaplah, awan terlihat bolong dan bergeser.
Bukan karena "dukun" punya kekuatan, toh ribuan dukun di negeri ini tak bisa melepaskan Belanda yang bercokol 350 tahun. Jadi, madani adalah bukan cerita tentang panen raya. Madani adalah cerita tentang cara menjaga, berkomunikasi, dan berbicara. Saat itulah Tuhan Yang Maha Besar mengabulkan doa. Karena itu juga Tuhan menciptakan jeda.
Cycle, tempo, beat, kalo di alat musik bernama ryhtm. Rythm, sebuah strategi penyusun harmoni, di samping melodi dan suara suara atmospheric. Dan satu lagi yang hilang di era musik digital ini, bias. Bias, sedikit kesalahan, fals, atau undercontrolled miss, adalah pelembut pesan. Betapa musik musik digital yang bergrafik kotak-kotak sanggup menghilangkan pamor musik bergrafik kurva. Kurva yang berasal dari titian nada aksioma, dan disambung oleh para bias, sehingga tangga-tangga tadi berasimtut. Betapa perbedaan kini harus dipertajam untuk hanya mendapatkan kedalaman makna.
Semakin dalam bermusik dengan cara mengikuti arus digital, maka semakin tajam kita menikmati perbedaan. Di sisi lain saat bermusik, khususnya saat ngejam, kita biasa saling tunggu. Yang paling jago adalah yang paling ahli dalam teknik "menunggu" ini. Menunggu dengan indah. Hati hati dengan orang yang suka telat. Bisa jadi dia sedang mengasses dengan membuat sebuah spektrum masalah jadi lebih lebar dan mudah dicacah. Apalagi si pengasses punya kemampuan pindah di atas rata rata .
Jika jaman dahulu perjalanan terasyik adalah perjalanan menemui puncak gunung menemui Sang Gusti, dengan jalan menanjak namun landai, kali ini seperti perjalanan ke atas gunung, namun di atas sudah berupa undakan tajam, dan simbol simbol penjaga.
Kita, bangsa yang besar ini, kadang terlalu asyik mencari nyaman. Di saat kenyamanan datang, kita jadi lupa dengan pembuka gerbang dan kesepakatan. Tapi tak apa, selama kita masi ingat cara berdoa. Itu masih lebih dari cukup.
Diposkan oleh
Private!
Saturday, October 07, 2017
Mahkota Dahlia Hitam
Menakar berapa besar pengorbanan yang kita beri untuk anak sama saja dengan menimbang seberapa berat nafas yang dilalui saat meminta pada Ilahi.
Pengorbanan, kata yang muncul saat ada yang terhempas, ada yang menepi, terselamatkan.
Pengorbanan adalah pilihan kata bagi orang orang yang sempat menghitung nafas, lalu sempat ketakutan bahwa nafas itu akan habis, padahal bunga dan pohon baru penghasil oksigen tiap hari tumbuh.
Pengorbanan sekali lagi bukanlah tentang menimbang bekal menuju sejahtera. Pengorbanan bukan tentang menerima rasa sakit. Pengorbanan adalah bunga, yang ia akan berkembang saat akar tidak tersiksa, batang tak terhempas angin, dan sari bisa mempersiapkan diri untuk menyebar, syukur syukur bisa meregenerasi.
Pengorbanan bukan cara mencapai keseimbangan. Tapi bagaimana setiap ciptaan memberi arti, walau itu adalah kegelapan. Gelap pun ingin berbunga, ingin dijaga, dan memberi arti dengan bertambah, untuk temani, laksana putik dan sari, yang akhirnya kehilangan jarak karena saling menyinta.
Cinta adalah syukur yang mengalir dalam darah. Cinta menembus ruang dan waktu. Seringkali ia berkendara rindu. Seringkali ia bertemankan kegelapan. Tempat terdekat untuk merasakan pesan Pembisik Yang Maha Penyayang.
Tuhan Yang baik. Terima kasih atas bunga dahlia hitam yang kau kirim. PesanMu kuterima. Izinkan Aku kembali bersimpuh.
Diposkan oleh
Private!
Tuesday, September 26, 2017
Gonjang Ganjing

Tak menduga, tapi sekaligus memahami, setiap manusia akan dihadapkan pada proses memilih nasib bangsanya. Ini bukan tentang pemilu, tapi tentang sebuah fase yang menjadikan manusia tak lagi memiliki waktu untuk menimbang. Memilih tanpa waktu, seperti sebuah tindakan langsung, laksana menepuk nyamuk yang mendarat di dahi.
Tak disadari, ada titik tertentu, pergerakan kita menentukan bagaimana hal lain ikut bergerak. Bahkan bisa jadi hal lain itu adalah negara kita sendiri. Apalah kita, hanya semut yang terancam injakan, kadang terucap di benak. Diri ini tak pernah berbuat lebih dari apa yang dilakukan di dalam rumah ketika mengejar tenggat. Tapi ternyata jika didalami, ada momen tindakan, yang bisa dibaca oleh semua orang. Semua orang, di negeri ini.
Ber-cyber dengan menulis adalah salah satu cara menjadi bisa dilihat di semua orang. Sebentar dulu, bisa saya katakan sekarang membuat akun facebook hanya butuh hitungan tak lebih dari 5 menit, tentunya jika internet kencang.
Jika setiap kita menyadari momen-momen ini, maka tak perlu teriak lagi di jalanan. Tapi ada perkecualian. Teriak di jalanan pun perlu, saat kita membutuhkan pengalih, seperti flare pada pesawat tempur. Flare seolah diam melayang perlahan ketika dilemparkan dari pesawat yang melesat, pesawat tempur lah yang terus meluncur, mendekat, ke sasaran. Mendekat cepat ke sesuatu yang berbeda. Ada yang memahami sesuatu ini sebagai musuh, ada yang memahami sesuatu ini sebagai objective, atau bahkan hanya agenda latihan frekwentatif biasa.
Kini negeri butuh para "pilot pesawat tempur", yang bisa mendekat kepada titik titik pembeda, dan titik-titik yang beda. Perbedaan adalah hal yang paling menarik saat ini. Bukan lagi penanda, tapi juga pembentuk cerita. Semiotic barat merumuskannya dalam konsep "memetic engineering", mungkin saya lebih mengistilahkannya dengan, lambe-tic engineering, sebuah kuasa mewujudkan, dengan meracau.
Ketika ada yang mengatakan itu adalah bubbling approach, saya mengatakannya bahwa itu adalah permainan imaji. Tanpa sadar, bahwa teknik teknik informasi yang digemari sekarang lebih berbentuk pesan pesan subliminal, dan telah menjenuhkan alam bawah sadar.
Jika alam bawah sadar sudah jenuh, maka datanglah masa memilih. Jika semua orang sudah begitu banyak rencana, objective, sasaran, maka akan hilanglah masa menimbang. Tak ada tenggat. Jika memilih tanpa berpikir, maka datanglah gonjang-ganjing.
Dari tulisan di atas, saya cuma bisa memberi pesan dua kata, pada yang ingin menyayangi bangsa ini, "nikmati kemanusiaanmu"
Jakarta, 27 September 2019.
Diposkan oleh
Private!
Monday, May 15, 2017
Taring-isasi
Saat taring taring sengaja ditonjolkan, bukan lagi gigi seri yang menjadi daya tarik, maka saat itulah sepertinya setiap hal yang dianggap baik hanya bisa diukur dari sisi beratnya, onggokannya, tekstur dagingya, atau bahkan darahnya masih segar ataukah tidak.
Bangsa kini kembali ke era dimana taring lebih penting dari gigi seri. Taring lebih penting dari geraham. Kekuatan menyabik kini lebih diprioritaskan daripada kekuatan memutus, dan menghancurkan.
Siapa bilang kita sedang dipecah belah, gigi seri sudah agak lama beristirahat. Perbedaan sudah kita sadari. Bahkan kita sudah bisa menempatkan diri, dan saling membaca potensi.
Kita pun sudah lama mengalami penghancuran, siapa yang tak ingat saat orang-orang bersarung diburu, orang-orang membawa pedati diteror Westerling, orang-orang yang berekspresi dituduh mal-insani? Saat itu kekuatan kita untuk menghancurkan begitu dahsyat. Bahkan anak cucu pun disikat.
Kini taring yang paling dicari. Tak perlu lah itu bersatu. Tak perlulah kini saling menghancurkan. Cabik secepat mungkin. Tinggalkan, dan biarkan belatung-
belatung yang entah dari mana datangnya, membesar, dan memiliki rasa, seperti apa yang dimangsanya.
Bangsa kini kembali ke era dimana taring lebih penting dari gigi seri. Taring lebih penting dari geraham. Kekuatan menyabik kini lebih diprioritaskan daripada kekuatan memutus, dan menghancurkan.
Siapa bilang kita sedang dipecah belah, gigi seri sudah agak lama beristirahat. Perbedaan sudah kita sadari. Bahkan kita sudah bisa menempatkan diri, dan saling membaca potensi.
Kita pun sudah lama mengalami penghancuran, siapa yang tak ingat saat orang-orang bersarung diburu, orang-orang membawa pedati diteror Westerling, orang-orang yang berekspresi dituduh mal-insani? Saat itu kekuatan kita untuk menghancurkan begitu dahsyat. Bahkan anak cucu pun disikat.
Kini taring yang paling dicari. Tak perlu lah itu bersatu. Tak perlulah kini saling menghancurkan. Cabik secepat mungkin. Tinggalkan, dan biarkan belatung-
belatung yang entah dari mana datangnya, membesar, dan memiliki rasa, seperti apa yang dimangsanya.
Diposkan oleh
Private!
Thursday, April 27, 2017
Penyadapan, Harus (?)
Dalam ajaran Islam, setiap manusia dicatat amalnya oleh malaikat Munkar dan Nakir. Secara pendekatan analogis, penggambaran Munkar dan Nakir memenggambarkan pentingnya pencatatan dari setiap amal yang dilakukan. Manfaatnya tentu bukan hanya untuk penentuan vonis surga-neraka. Tapi pencatatan adalah sebuah proses menuju akuntabilitas. Keseimbangan dalam niat, laku, dan manfaat.
"Pencatatan" Ilahi via "makhluk berbahan dasar cahaya" tentulah bisa jadi bukan seperti yang seperti alam pikir manusia bayangkan. Bahwa setiap makhluk akan meninggalkan jejaknya di tiap detik. Baik itu jejak karbon, peluruhan massa, dan konekstivitasnya dengan semesta. Apakah jejak itu menghasilkan manfaat, turbulense, ataukah bahkan kerusakan?
Lalu apakah setiap manusia harus merekam/mencatat? Dalam kapasitas pembuktian dan akuntabilitas: iya. Tapi pada dasarnya "trust/sistem kepercayaan" bisa menjadikan fase berankuntabilitas menjadi lebih pendek. Bisa menjadi short cut.
Betapa indahnya manusia yang bertakwa, yang telah dijanjikan oleh Tuhan rejeki yang tak diduga dan dilancarkan hisabnya di dunia - akhirat.
Diposkan oleh
Private!
Wednesday, July 23, 2014
Memelihara Akal Sehat
Lama tak menulis, bukan karena tak punya ide menulis, bukan karena malas, bukan karena bosan, tetapi memang karena belum waktunya. Banyak hal yang terlewati cukup dengan melihat, merekam, mendata, dan menghilangkan jejak. Banyak hal yang terlewati saat kita harus melatih kelima indera untuk menahan diri. Menahan dari keinginan yang pecah dalam perintah yang memengaruhi indera.
Akhirnya toh menulis lagi, ini pun bukan untuk tujuan tertentu. Hanya ingin untuk menetralkan sedikit rasa janggal yang tak bisa dinetralkan panca indera. Menulis memang salah satu cara menjejakkan diri, mengetahui posisi, mengukur jarak dan sudut memandang saat berpikir.
Rasa janggal yang muncul karena politik yang meliputi hati. Bukan hati yang meliputi kehendak. Akankah kita akan terjajah terus oleh keinginan, di saat keinginan tersebut tak berjejak pada rasa senang? Keinginan yang hanya mengambang di antara ruang-ruang pemahaman dangkal bersobat asumsi?
Dari lumpur-lumpur muncul keinginan untuk memimpin. Dari darah dan masa kelam muncul keinginan untuk menguasai. Dari rasa tunduk muncul keinginan untuk berbagi rasa senang. Tak ada yang salah, saat yang dipimpin langsung bersepakat. Masalah yang muncul adalah, kesepakatan untuk dipimpin seringkali datang hanya saat kita tak punya tujuan. Hanya ingin mencari rasa aman.
Para pemilih pemimpin berlumpur merasa bisa berjejak di lumpur. Para pemilih pemimpin berdarah merasa bisa melangkah di gelembung-gelembung ingatan kelam. Para pemilih pemimpin penurut berusaha mencari ruang untuk bersenang-senang.
Jika harus memilih, tentunya bukan pilihan yang membuat umur jadi pendek. Jika harus memilih, tentunya pilihan yang membuat pikiran dan badan tetap sehat. Jika harus memilih, tentunya nurani akan menuntun untuk memilih yang menyehatkan akal. Karena akal adalah simpul yang mengikat kefanaan kita. Karena saat akal dalam sehat, maka fana kita tak akan terjebak jadi pucat dan sia-sia.
#sebuah renungan pasca pilpres yang hingar-bingar.
Diposkan oleh
Private!
Saturday, April 06, 2013
HAM vs Gotong Royong, Ngetwit tapi Ngeblog :P
- <-- :d="" lagi="" mesin="" ngeblog="" p="" pemenuh="" sebenarnya="" tapi="" timeline="" via=""> -->
- Minimal tercatat di http://urbanistis.blogspot.com
#HAMvsGOTONGROYONG :D - Seperti pula twit ini, yang jika tak terasa fungsinya hanya jadi pemenuh timeline. DI sisi lain, tetap ada yang mencatat ;)
- Kalo dalam kasus Apple, adoration yang berlebihan hanya jadi pemenuh meja-meja kafe.. :P
- Simbolisasi seringkali jadi penyebab penyembahan (adoration) yang kurang fungsional. Hanya pemenuh timeline.
- Walau seringkali optimalisasi yang dilakukan o/ Steve Jobs diterjemahkan jd simbolisasi. Itu resiko. Seperti Pancasila yg kini hny simbol :P
- Analogi paling simpel HAM vs Gotong Royong adalah : PC vs Apple ~ customisasi VS optimalisasi.
#simplifikasi :P - Soekarno (mungkin) tahu, jauh lebih penting gotong royong daripada koar-koar urusan HAM yang akhirnya berbau sampah.
- Pertanyaan yg dijawab boleh, dibantah boleh,diabaikan boleh: Dalam konteks politik apa bedanya isu HAM dengan Praktik Devide et Empera?
- Jika barat jualan
#HAM hingga paket keteng seketeng-ketengnya, Indonesia (Nusantara) sebenarnya bs jualan#GotongRoyong hingga se atom2nya. - Jadi, ada negara madani di galaksi andromeda, mata uangnya H, singkatan dr HAM, negara besar di dunia menjadikannya teladan. Teladan kosong.
Diposkan oleh
Private!
Wednesday, December 05, 2012
Pleki, Jangan Paksa Aku Mandi Tanah Lagi
Tak terasa matahari sudah begitu terik. Sayup suara azan pun
mengumandang dari balik dedaunan pohon manggis yang tumbuh di depan kios rokok
Pak Mur. “Minta air putih sedikit ke Pak Mur, pasti dia mengijinkan, toh
sepertinya jualannya laku pagi ini, “ pikir Bona. Gratis is the best.
“Minta air, Pak Mur!”
“Ambil saja, Bon. Kalo mau pake es ambil sana di termos, Pak
Mur mau ke masjid dulu ya Bon.”
“Terima kasih ya Pak. Ga ada yang nungguin Pak?”
“Biarin si Pleki aja yang nungguin. Tapi tau tuh kemana dia,” ujar Pak Mur yang
bersarung kotak-kotak putih. Pak Mur ini terkenal santai, namun ingatannya panjang.
Jadi tahu siapa yang ngebon sama dia
+ jumlahnya dengan detail.
..”hmm.. air putih
ini enak sekali,” gumam Bona,
menghibur diri.
“KAMPRET LU”
“ Pergi ke sana! ”
terdengar suara hardikan dari rumah di balik kios. Sekelebat ada anjing
berlari. Anjing itu menggigit plastik hitam kecil. Anjing itu ternyata Pleki,
peliharaan Pak Mur. Tapi ekspresi Pleki begitu terlihat serius berlari menjauh.
Cepat sekali. Ritual minum air putih
gratisan pun terhenti.
..”Huh, najis
mughaladah,” tiba-tiba teriakan itu mengiringi hardikan dan keterbirit-biritan anjing. “Anjing
itu menyentuh gamis ane, ane harus cari tanah.. Ah tidak, ane harus mandi lagi saja,” ujar sosok
yang tiba-tiba muncul dari balik kios rokok Pak Mur. Ternyata dia Umar, baru
saja bergerak menuju masjid, untuk shalat dhuhur berjamaah.
“Hoi, Umar!,” sapa Bona. Umar, salah satu rekan Bona yang
rumahnya paling dekat sekolah. Umar
memang getol sama urusan organisasi agama, tapi Bona kurang tertarik, karena sepak
terjangnya dirasa terlalu agitatif.
“Salah apa tuh anjing, kenape najis?” Bona penasaran. “Ya emang najis,brur! Tuh si Pleki sering seliweran
di
mari (di sini –red). Sampe akhirnya gamis Ane kena deh sama hidungnya. Ribet dah urusannye.
“Urusan ape Mar,
sampe ribet amat?”
“Ya ane telat ikut
majelis (dhuhur berjamaah)”, keluh Umar.
“Seribet itu ye?”
“Iye” tegas Umar
“Ane mandi tanah dulu
ye Bon.”
“Iye dah”
….
Akhirnya Bona baru bisa menghabiskan segelas air putih.
Plekiii…Plekiii. Ade
ade aje lu, Plek. Nyang satu numpahin keribetan hidupnya sama elu, nyang satu ihlasin realita sama elu.
“Jadi inget cerita Ashkabul Kahfi, atau para sahabat Rasul
yang berburu dengan bantuan anjing. Ribet
ga ye mereka? Semesta begitu ribetkah?
“
Nb:
Ini cara bersihin najis mughaladah. Ribet? Relatif.
Tergantung kadar keikhlasan. Beribadah ikhlas itu bikin kita damai, dan agama pun akhirnya tak perlu dibela-bela, hanya karena kelemahan dan ketidakikhlasan kita.
Diposkan oleh
Private!
Tuesday, November 27, 2012
Menakar Prasangka
Pengemis di waktu-waktu tertentu mengisi persimpangan-persimpangan jalan. Mengisi ujung jalan dengan tiang lampu pengatur lalu-lintas, duduk sila di trotoar dan mulai mengais rejeki.
Jam kerjanya tak diketahui, mungkin 12 jam, mungkin 8 jam, atau kurang dari itu. Tapi (sekali lagi) di waktu-waktu tertentu, mereka memang konsisten mengisi ruang-ruang sudut jalanan.
Tak tahu apakah sudut jalanan adalah tempat paling 'menguntungkan'. Tak tahu juga neraca laba mereka saat meminta-minta di posisi itu, dibandingkan harus berjalan keliling komplek, mengetuk pagar setiap gerbang rumah.
Mereka sedang berusaha, iya, berusaha meminta.
Di sisi lain, ada sosok-sosok jiwa yang berusaha memberi, berbagi, dan menyisihkan pendapatan mereka untuk diserahkan ke 'semesta'. Mereka sadar bahwa mereka adalah milik semesta. Mereka berusaha mengaitkan diri dengan semesta dengan cara memberi, berbagi, dan menyisih.
Memberi, berbagi, dan menyisihkan harta adalah sebuah rutinitas yang seringkali menyandu. Tak terasa hampir setengah harta seringkali tersisih. Namun hal itu tak membuat jiwa dan waktu terkorupsi. Hanya mungkin ada satu hal yang seringkali terkorupsi, ialah prasangka.
Prasangka yang ada sudut hati seringkali terusik saat ingin berbagi. Daftar pertanyaan seolah membumbung tinggi ingin mengonfirmasi apakah yang ingin kita bagi ini benar-benar untuk semesta, ataukah hanya untuk para oportunis yang bermain posisi bawah untuk 'menangkap' harta yang terlempar?..
Terlalu banyak konfirmasi, seringkali justru malah mengurai waktu. Dan hanya menjadikan kita 'pemangsa' skenario Tuhan. Terlalu sering kita merencana, sampai lupa kita malah merencana hubungan antarmanusia, yang sama sekali tak bisa dilakukan saat kita belum mengenal.
Pengemis yang (seolah) penuh derita itu memainkan perannya sebagai penakar rejeki orang, dengan tangannya yang jadi timbangan. Seringkali dengan kelemahan prasangka kita, kita jadi tak tahu siapa yang menjadi pemangsa, kita kah , atau si pengemis.
Merencana, atau bahkan hingga mengikuti sekolah merencana, membuat kita menjadi Tuhan-Tuhan kecil yang berhak menilai orang lain. Padahal kita tak pernah bisa mengetahui seseorang buang air besar seberapa cemplungan. Bahkan kita tak pernah mengetahui seseorang beberapa kali menelan ludah, karena sedang tercengang menatap karya Tuhannya.
Merencana, berprasangka, dan menakar adalah 3 hal yang biasa dilakukan barang ciptaan. Mengenal adalah pengikatnya. Mengenal adalah pintunya. Kita tak pernah bisa melakukan ketiga hal itu tanpa akhirnya melalui pintu pengenalan.
Terlalu banyak orang di luar pintu, yang harus kita kenal. Karena syarat untuk jadi manusia itu simpel, ia bisa membuka pintu. (titik)
Diposkan oleh
Private!
Sunday, November 25, 2012
Mulutmu, Klaksonmu?
Pagi-pagi, saya sudah mendengar berita Munarman dipukuli gara-gara menglakson berlebihan di jalan raya. Bagi saya ini adalah berita ironi, antara rasa ingin tertawa, dan prihatin (kebetulan rasa prihatin ini sudah mulai kebal karena dilatih oleh berita-berita kekerasan yang spartan di media lokal kita).
Rasa ingin tertawa seringkali berasal dari humor. Humor seringkali adalah rangkaian kebodohan yang dirangkai oleh kecerdasan. Saya masih selalu merasa salut untuk para komedian sejati yang punya range pemikiran lebar. Merangkai cerita (apapun) jadi tak wajar, tapi tak juga berlebihan.
Kemacetan adalah salah satu hal yang wajar di Jakarta. Banyak hal yang dihasilkan dari macet. Esensinya sih, macet adalah resultan dr beberapa kebodohan kecil. Orang cerdas seringkali membungkusnya dalam cerita2 inspiratif di timeline social media, seperti twitter atau status facebook. Bukan keinginan pencet klakson :P
Pencet klakson berarti memberi peringatan akan bahaya/kondisi tak ideal di sekitar. Bukan beritahu "saya adalah bahaya, saya tak ideal" :D
Esensinya, memencet klakson bertujuan untuk "mengganggu", membuat orang perhatian terhadap suatu hal. Bukan prpanjangan mulut sbnarnya :D
Jk ada 1 suara klakson, sjatinya ada 1 hal "gak beres".. jk ada 2 ya kelipatannya,dst. Bkn u/ brkomunikasi. Komunikasi mngarah ke keindahan.
Bagaimana cara meredam emosi saat diklaskon habis-habisan? Berikut tipsnya :D
- Anggap saja pnglakson baru dapat rejeki jadi orang kaya baru. Lagi pamerin klakson impornya
- Anggap ada kondisi darurat di blakang, kecipirit misalnya. Menghadapi kondisi darurat tak boleh panik. Santai saja
- "Mulutmu, klaksonmu". Beda orang beda mulut. Fungsi utamanya tetep untuk makan. Jika ada makanan sisa, berikan
- Bisa jadi balasan Tuhan krn kita dianggap berisik o/ alam. Menyatulah dengan alam, nikmati komunikasi dg semesta.
- Lanjutan no. 3, bisa kondisi darurat yg butuh pertolongan kita. Turun dari mobil, tnyakan, "Ada yg bisa saya bantu?"
Mungkin itu yang terjadi pada Munarman, kelima orang itu sebenarnya bantuin dia.. Wallohuallam bissawab
Diposkan oleh
Private!
Saturday, June 02, 2012
Mainstreamist vs Extremist
1. "Besok tugas harus sudah dikumpulkan," ujar Mainstreamist.
2. "Matahari sudah terbenam. Keluarlah. Besok kau datang kembali, bawa pesanku, dan pesan barumu," ujar Extremist.
3. "Kamu harus saya hukum," ujar Mainstreamist.
4. "Sudahlah, kamu pulang, istirahat, dan telepon ibumu," ujar Extremist.
Kalimat 1-2 dan 3-4 sebenarnya satu arti. Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di atas. Keempat percakapan berasal dari dua tokoh di dunia yang sama . Sama-sama melintasi lintas waktu yang sama, dan sama-sama mengejar cerita untuk dibawa pulang. Setiap manusia butuh cerita, minimal cerita itu hanyalah berupa kesenangan ber-BAB lancar di hari berjadwal padat.
Jadwal yang padat menggiring kita pada keterburu-buruan. Jadwal yang padat menggiring kita pada berlaku cepat. Jadwal yang padat seringkali membuat pikiran memampat, sehingga muka terlihat seperti ikan sepat. Mata melong, mulut menyayat. Jadwal yang padat juga seringkali membuat kita terlihat berusaha untuk membuat citra, bahwa kita sedang berjuang mengarungi waktu. Apakah mengarungi waktu harus diperjuangkan?
Waktu tetap bergulir. Tak perlu buru-buru menilai orang satu lebih baik dari lainnya. Tak perlu grasa-grusu memilih calon pemimpin dikala waktu sudah mepet. Keutuhan cerita tak selalu didapat dari perbuatan yang buru-buru. Seperti mencabut padi tanpa akar, dan mencoba menanamnya kembali di tempat lain.
Ada banyak cerita di balik keterpadatan. Ada banyak perilaku yang dihasilkan dari keterpadatan. Ada orang-orang yang akhirnya hidup nyaman, walaupun tak punya apa-apa, karena mereka bisa menikmati bisikan angin. Ada orang yang bisa menikmati deru mobil trailer yang melintas dua meter dihadapannya, karena mereka mendapatkan cerita,"hidup yang berat harus dilalui dengan roda yang berat dan bawaan yang banyak hingga menderu".
Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di alinea-alinea awal. Tapi jelas ada perbedaan. Sosok Mainstreamist adalah orang-orang yang menikmati keterhanyutannya hingga seperti ikan yang lupa menggunakan sirip. Sosok yang kedua adalah sosok yang penuh cerita, dan tahu cara menikmati waktu yang hanya sedetik. Sosok kedua adalah sosok yang tahu, ilmu tak butuh teori, karena teori itu meng-KWkan esensi ilmu sendiri. Ilmu butuh rasa berbagi, ilmu butuh kemampuan berkenalan dan bercerita. Ilmu pun butuh ibu. Demi perbaikan peradaban, saya bertaruh pada para extremist! Semoga Jakarta kembali diisi oleh para extremist yang dicari penjajah! :)
Salam urbanistis!
Diposkan oleh
Private!
Saturday, December 17, 2011
Angin Tanpa Arah
..............aku disini.....
...........menulis sedikiit kata-kata.....
.....didalam uraian tulisan kertas tisu lusuh......
“Wahai angin, wahai langit-langit hitam dengan awan-awan tanpa hujan…
apakah kau lihat harapan itu seperti cahaya ataukah noktah hitam?”..
“Apakah kau lihat harapan itu adalah cela bagi para pendusta, bagi para pecundang?”
“Doa para pecundang hanyalah kepalsuan bagi realita…”
“Aku ingin melangkah ..seperti layaknya langkah-langkah hewan kecil yang baru dilahirkan oleh sang induk yang sayang padanya”..
“Aku ingin langkahku dipenuhi daun-daun yang menguning karena sudah waktunya untuk musim gugur, karena sudah waktunya kami melihat harapan-harapan baru,”….
” …meskipun kami harus melewati musim dingin,…meskipun kami sudah melewati musim berbunga”….
“Daun-daun hitam dimasa lalu yang ditiupi angin-angin tanpa arah, kini tersimpan di dalam gubuk-gubuk kelam seorang pengembara tua”…
“Semuanya tinggal senyum, semuanya tinggal cerita , semuanya tinggal kenarsisan orang tua…aku berharap untuk menjadi muda dan bisa terus melangkah dengan impian-impian setinggi langit”…
Cih…
cinta
itu
hanya
untuk
pemimpi….
===========
sedikit kutipan dari "lantun angin tanpa arah".
Diposkan oleh
Private!
Saturday, November 26, 2011
Anti Social Media?
Account facebook sudah punya, account twitter sudah punya, tumblr juga punya, blog juga punya (walau kurang eksis), sebenarnya masih ingin belajar social media yang lain, dan memang masih sangat banyak social media lain. Kata teman, "social media itu seperti spion pada mobil, kita bisa tau kondisi di sekeliling mobil kita, tanpa harus bertindak seperti stalker (pengintip /pengintai hidup orang)". Pendapat yang aneh, tapi struktur analoginya cukup konstruktif membuat saya bisa memosisikan diri di dunia social media yang saat ini sudah menjadi cemilan warga Jakarta.
Saya menduga, bisa jadi warga Jakarta di lima tahun terakhir adalah warga Jakarta yang "gemuk" oleh informasi, dan "berkolestrol" karena tertempeli mindset yang macam-macam karena keseringan nyemil social media. Mindset yang sebenarnya "lemak" bagi tubuh, sebenarnya sumber tenaga, tapi tak terolah dengan perbuatan nyata, menumpuk, dan bisa membuat mati. Fisik tak mati, tapi mungkin bisa jadi jiwa kita sebenarnya sudah masuk ke alam barzah.
Terbayang di otak liar ini, fungsi tubuh sepenuhnya dikontrol oleh koordinasi lima indera, tanpa hati. Otak hanya akan menjadi operator yang menjalankan mesin-mesin pengolah referensi. Panca indera menjadi senjata ampuh yang diberikan Tuhan muntuk mendukung pencapaian kita. Panca indera membantu kita dalam mencengkeram ide-ide, dan mimpi untuk memiliki. Rasa ingin memiliki, itulah yang dihasilkan dari koordinasi kelima indera ini. Rasa untuk menguasai kapital, itulah yang seringkali menghinggapi orang-orang yang di otaknya hanya berisi program-program pencapaian.
Lalu dimanakah letaknya hati? ya posisinya tak pernah berubah, selalu menemani usus. Hati versi bangsa ini adalah hati yang sejajar dengan perut. Hati versi samawi (nasrani, islam, yahudi) adalah heart, qalbu, yang sebenarnya adalah jantung, pemompa darah. Heart is not liver. Ia diposisikan di atas perut, dan sejajar dengan paru-paru sebagai alat bernafas. Pengistilahan ini membuat pikiran saya mengembara, apakah betul bangsa Indonesia ini bangsa artifisial? Bangsa yang mudah disuguhi materi? Karena kalbu disejajarkan dengan perut?...
Kembali ke social media. Saya melihat sebuah fenomena, kaum muda Gerindra mulai "melirik" strategi untuk "memusuhi" social media. Link-nya bisa dilihat disini . Sebetulnya tidak benar-benar memusuhi, hanya memosisikan diri. Social media memang senjata ampuh untuk mencapai interkolektifitas. Sebuah cara untuk menjadi keluarga besar yang menghargai pentingnya kapitalisasi ide. Tapi tetap, individu adalah sebuah sosok yang dihidupkan oleh qalbu. Berserah diri pada referensi, hanya akan membuat kita mayat-mayat berjalan. Normatif, templatis, dan tak bersuara melawan kapitalis. Qalbu seolah hanya bisa bersuara di alam barzah, ya karena qalbu budak-budak materialis seringkali telah mati.
Social media adalah privilege individu bebas. Tapi bukanlah tujuan. Social media hanyalah batang-batang korek yang membakar individu sejati agar menjadi dirinya sendiri, yang punya hati, yang punya jiwa, dan yang membesarkan semesta, yang membelenggu ego-ego kesombongan atom-atom jagad raya. Kesombongan yang seharusnya tak tampak dari individu yang merdeka. Merdeka untuk berbagi, dan berhati untuk memiliki.
Diposkan oleh
Private!
Monday, November 07, 2011
Sunday, October 23, 2011
Berkarya Tanpa Tersandera?
Memulai karya baru seringkali adalah pekerjaan yang maha berat. Berat karena memang benar-benar harus baru, seperti tanpa keterkaitan dengan karya-karya sebelumnya. Karya baru itu pun berat karena seolah kita harus terlepas dari keterjebakan sentuhan diri kita pada masa lalu.
Hal ini terjadi pada saya dahulu, dan terjadi juga dengan rekan saya, sesama makhluk pembenci hal-hal normatif. Tumben rasanya saya mendapatkan waktu untuk mendengarkan apresiasi darinya, tentang posisi dirinya saat ini. Kata lain "curhat" yang keduluan populer. Istilah curhat agak tak saya sukai, karena seringkali kata curhat menjebak kita untuk subjektif memandang orang.
Ia memulai sesi apresiasi tentang dirinya, dan saya tinggal menikmati. Ia mengapresiasi dirinya yang berada dalam lembah kejenuhan, setelah berkarya hampir setahun di Jakarta. Ia takut dirinya akan memproduksi karya yang "begitu-begitu" saja, gampang tertebak, membludak ke dalam imaji dan gerbang niatnya. "Saya stuck, apa yang harus saya perbuat?" sebuah apresiasi yang diakhiri tanda tanya. Ia bertanya pada saya, yang terus terang saat itu terhenyak karena belum siap menjawab.
Saya berusaha tersenyum. Tersenyum adalah bentuk jawaban yang biasa saya pertama kali lakukan sebelum berkata. Senyuman bisa berjuta makna, layaknya lukisan Monalisa. Satu hal yang pasti adalah senyuman bisa jadi obat, mungkin untuk dia, dan yang pasti untuk saya. Butuh kurang lebih 10 detik untuk saya mencari kata-kata jawaban yang tepat. Karena urusan niat berkarya adalah urusan yang sangat subjektif, namun berdampak pada objective (tujuan) hidup kita.
"Coba Lu pilah lagi urusan lu, mana yang rutin, mana yang benar-benar berkarya," ujar saya. Rutinitas seringkali meninggalkan kesan seperti kita sedang mengisi check list daftar pekerjaan yang nyata-nyata berulang. Sedangkan karya seringkali membutuhkan energi untuk mencari "wangsit" atau petunjuk dari alam, menghaluskannya dalam coretan ide, mengolahnya dalam sistem yang bertumbuh, dan membungkusnya dengan kesan dan referensi terakhir kita. Berkarya itu seperti menjadikan kita seolah Tuhan, sebuah aktivitas yang agak arogan untuk skala manusia. Namun dengan karyalah kita bisa menunjukkan bahwa kita bukanlah Tuhan. Kita hanya 0/1 nya Tuhan. Rasa lelah dan kehilangan orientasi akan muncul saat kita selesai menyelesaikan sebuah "karya",adalah bukti yang membuktikan bahwa manusia punya batasan. Batasan karya, sesuatu yang sangat manusiawi.
Apa yang dilakukan rekan desainer lainnya saya ceritakan sebagai referensi. Rekan desainer tersebut punya ritual rutin saat telah menyelesaikan sebuah proyek bangunan. Ia akan serius untuk berlibur dan seraya menyerap simbol-simbol alam yang baru. Rekan yang saya ceritakan itu menginvestasikan 50%waktu bekerjanya untuk mengisi ulang energi badannya yang tersalur ke karya terakhirnya. Tak heran setiap karyanya seolah memiliki aura, tak datar seperti wajah pengantin yang tak ikhlas dikawin.
"Lu harus cari waktu untuk kembali ke alam, kembali ke haribaan Ilahi dan mendapatkan simbol dan energi baru," ujar saya berkata sambil terpejam. Terpejam karena pembicaraan ini terjadi setelah saya belum tidur selama 36jam. Selain itu, untuk urusan memberi petuah, saya berusaha menghilangkan peran indera saya. Saya berusaha menggali suara-suara berisik di dalam tubuh, yang seringkali berkata. Suara tubuh yang ternyata adalah suara hati.
"Gue tau lu baru saja menyelesaikan beberapa karya idealis secara beruntun. Ga heran lah kalo kejadian "kopong ide" ini terjadi. Kerja itu rutinitas, karya itu penciptaan entitas. Jangan meremehkan badan kita saat berkarya," ucapan saya meluncur deras seperti orang sok tahu. Tapi saya yakin dengan ucapan saya itu. Saya yakin dengan kesoktahuan saya saat berhasil mendengar suara hati.
"Oke, saya akan cari waktu," ujarnya. Kami pun melanjutkan dengan cerita-cerita hantu. Sebuah cara tersingkat untuk mengurangi keterkaitan dengan ruang dan waktu. Sebuah cara yang singkat juga untuk menghargai daging yang telah membantu ruh ini melewati hari.*
*Teringat dengan lagu Sujiwo Tejo ~Cinta tanpa Tanda, dan ucapannya di twitter: ""Bunuh" panca inderamu, dan rasakan cinta tanpa tanda. Selamat mengarungi cinta yang tanpa tanda".
Diposkan oleh
Private!
Thursday, May 26, 2011
Apakah Kita Masih Butuh Politik?
Di antara cerita perang yang terjadi di hutan-hutan, perkotaan, air, darat, gunung, dan lembah, bangsa Indonesia ternyata terlahir melalui perdebatan, melalui diskusi, dan olah pikir. Tak ada aturan dalam debat saat itu, hanya rasa ingin mendapatkan makna baru dan pelepasan cita-citalah yang membuat tokoh bangsa mengumpulkan semua ego mereka yang berbeda-beda. Kesepakatan menjadi orientasi dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Kesepakatan itu berjudul undang-undang dasar, dan mungkin masih banyak kekurangannya. Seperti payung kecil, kadang tak cukup menaungi warganegara yang ingin mendapatkan kenyamanan. yak, kenyamanan, bukan kemerdekaan. Bagi orang yang mencari merdeka, memiliki payung saja sudah menjadi anugerah. Memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi hujan adalah sebuah amanah. Kenyamanan adalah candu bagi orang yang ingin dimanjakan mimpi.
Mulai dari Undang-Undang, sistem dan organisasi pun tumbuh, tumbuh seperti syaraf otak yang saling tersambung, dan menjadi mesin fikir dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Peraturan tumbuh seperti jalan-jalan raya kota yang saling menghubungkan. Besar, kecil, panjang, lebar, sempit, luas, seperti itulah analoginya.
Setiap orang selayaknya bisa menggunakan jalan itu. Tak haruslah kita menggunakan kendaraan jika tak terikat dengan timeline waktu. Cukup berjalan saja, kita bisa sampai di tujuan, kita bisa mendapatkan rasa kemerdekaan dan keadilan.
Apa yang terjadi di pusat ibukota ini sungguh seperti komedi. Tak usahlah dianggap tragedi, jika kita masih memiliki solusi dan bayangan indah untuk membuat dunia jadi lebih indah. Mesin-mesin politik mengisi jalan-jalan ibukota hingga ruas terkecil. Itu bukan masalah. Yang jadi masalah adalah pengemudinya tak tau cara menggunakan mobil. pejalan kaki tak ada lagi, karena pasti tergilas. Mobil besar, mobil kecil, saling berebutan ingin menikmati jalan tanpa gangguan, agar bisa sampai tujuan.
Sebenarnya apa sih arti tujuan, jika akhirnya kita harus mengorbankan jalan yang saling terhubung itu jadi tanpa arah, dan membuat frustasi. Sebenarnya apa sih arti tujuan, jika kita tak bisa berbagi. Nihil... dan memiliki kemampuan terbang, kini menjadi mimpi para politisi-politisi yang tak bisa berkendara...
Diposkan oleh
Private!
Subscribe to:
Posts (Atom)