Sunday, June 30, 2024

Ilmu sebagai Wadah, Cermin, dan Senjata

 


Teknologi gawai berhasil mengoneksikan kita dengan jejaring, data masa lalu, bahkan gambaran masa depan kita. Secara tidak sadar banyak keterhubungan tak lagi dilakukan di ranah logika, tapi sudah dilakukan di alam bawah sadar, atau yang paling simpel, memainkan pola reflek kita.

Perkembangan peradaban terakhir ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi, dan menurut seorang rekan dan mentor, memang tak akan bisa teknologi menguasai semua hal terkait kehendak manusia, "Selalu ada ruang dimana sebuah kehendak memerlukan kecerdasan hati," ujarnya.

Perjalanan jauh saya di bulan lalu membuktikan ucapan rekan saya ini. Bagaimana sebuah tempat yang sakral bagi saya, untuk terhubung kembali dengan guru dan orang-orang yang punya manifestasi dalam menajamkan diri, dan sekitar, menunjukkan mutiara pembelajaran itu. Pembelajaran agar bisa  menjadi pisau yang berguna di dapur, di kebun dan di tempat lain demi untuk menciptakan ramuan nikmat yang baru, bangunan aktivitas solutif yang baru, dan semua hal terkait memperbaiki dan membangun. Bukan merusak.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menggunakan diri sebagai instrumen yang tidak merusak.   ini bukan hanya pertanyaan, bukan hanya pintu menuju ruang pemahaman baru, tapi juga adalah sebuah tantangan. Karena ilmu juga bisa merusak. Pisau juga bisa merusak. Pisau juga adalah alat, manifestasi dari ilmu ilmu menempa logam. Pisau juga adalah output dari aktivitas produksi yang mengaitkan besi dan kayu, atau plastik. 

Ilmu Sebagai Senjata

Banyak kejadian saat ini menempatkan mata hati kita di posisi bisa melihat, bagaimana seseorang menempatkan diri sebagai senjata. Ilmunya dijadikan senjata. Untuk bertahan hidup, dan untuk sekadar bisa menggores dan menakuti musuh yang datang, walau itu nyamuk. Kadang pisau jadi andalan saat ular dan harimau datang di tengah hutan. Seseorang seringkali bisa percaya diri hanya memegang pisau, seolah memiliki modal keberanian. Padahal percaya diri dan berani adalah dua hal yang ladangnya bisa berbeda. Memang modal percaya diri bagi sebagian orang adalah sepertiga dari solusi.  Dan solusi tak ada jika tak memiliki keberanian.

Walau pisau bisa jadi senjata, modal latihan untuk menguasai selalu penting dan mutlak. Secara aktivitas gestur, otot yang terikat dengan alam bawah sadar, belum saling terhubung. Belum melewati sesi "muscle-ing" atau pengototan. Betapa penting dan mutlak untuk melalui sesi melelahkan seperti latihan kuda-kuda di kuil shaolin, atau latihan riyadhoh di surau-surau para mursyid. "Menjemukan," kata sebagian partner gambar yang saya latih ketika saya melakukan latihan mengulang gestur di pelajaran anatomi. Namun jika kita bisa mewawancarai pondasi jembatan jika mereka hidup, mungkin mereka akan menjawab hal sama dengan kalimat berbeda yang lebih terasa positif. Hehe...

Saya biasanya akan meminta ijin mereka saat memasuki sesi menjemukan ini. Lalu saya akan tega untuk meminta mereka melakukan mengulang terlebih dulu minimal 7, maksimal 11 kali, untuk setiap gestur yang akan mereka gambar. Semata-mata agar mereka melakukannya dengan nafas yang lebih dalam. Penguasaan nafas adalah inti dari kesadaran. Menjadikan ilmu menjadi bagian dari serat-serat otot mereka.  Tak hanya ada di alam pikir, yang seringkali dibutuhkan untuk urusan lain yang biasanya mendesak. Mucle-ing adalah salah satu cara agar mereka menggambar gestur secara sadar penuh. Walau tentunya salah satu cara yang lain akan sama saja, melelahkan...Huhuhu... 

Tak setiap saat ilmu harus digunakan sebagai senjata. Sebagai alat pengakuan diri, atau sebagai alat untuk membuat celah masuk pada objek-objek yang kita inginkan. Aktivitas seperti itu seringkali merusak, dan menyakiti hati para pemilik aset, pemilik ruang waktu yang hadir sebelum kita. Bagaimana ilmu bisa bekerja menjadi penyembuh jika ilmu melukai saja yang dikuasai?


Ilmu Sebagai Wadah

Dalam beberapa kesempatan, saya rasa setiap kita akan diberi rizki untuk melihat insan-insan yang menjadikan ilmunya sebagai wadah. Sebagai tempat yang nyaman untuk membuka diri. Ada yang melihat insan sebagai tempat yang nyaman untuk mencurahkan keresahan. Karena keresahan seringkali adalah pembuka. Keresahan seringkali ditandai dengan tanda tanya. Seperti halnya di dunia intelektual, questioning adalah kunci dari sebuah riset. Sebuah pertanyaan bisa menentukan riset tersebut akan berlangsung dengan mudah, atau terjal. Dan setelah punya ilmu, tantangan selanjutnya dari setiap insan adalah memilih. Menentukan tujuan. Di sinilah peran "panggilan semesta" sangat fungsional. 

Menjadikan diri sebagai wadah, adalah sebuah rejeki saat memiliki pengetahuan. Seringkali pengetahuan kita hanya dijadikan alat untuk tunjuk diri yang bermuara pada menyakiti. Ilmu sebagai senjata tak selalu memberi solusi pada orang banyak. Ilmu sebagai wadah seringkali adalah jawaban untuk masalah-masalah yang lebih rumit dan memerlukan kerjasama dan kolaborasi. 

Di tempat lain juga kita melihat ilmu yang menyatu dalam insan, dan membuat insan tersebut sebagai tempat untuk menghubungkan diri. Berfungsi sebagai wadah, bahkan pada beberapa sosok saya melihat beliau seperti samudera, yang bisa mengantar kita ke tempat terjauh, dengan patokan mutiara-mutiara hikmah laksana konstelasi bintang yang menunjukkan tempat-tempat tujuan. 

.

Ilmu Sebagai Cermin

Seorang rekan pernah datang kepada saya saat saya menanti pengumuman sebuah lomba. "Rejeki itu akan datang sendiri. Jika ia datang, sebaiknya kita memang dalam keadaan siap, bukan keadaan kering karena menunggu. Jadi tak usah ditunggu, siapkan diri terus. Perhatikan kebutuhan diri yang tiap hari menuntut perbaikan cara pikir. Karena setiap hari baru adalah ruang untuk menemukan mutiara-mutiara, inti dari sebuah hari yang tidak selalu tiga dimensional, bahkan bisa tujuh dimensional. Bahkan lebih," ujar rekan itu di sebuah tempat ngopi favorit. 

Mengasah diri juga adalah sebuah hikmah dari memiliki ilmu. Mengasah agar selalu siap. Selalu tajam. Atau bila ia cermin, selalu mengilap, dan memantulkan dengan kualitas prima. Ilmu sebagai cermin, akan termanifestasikan pada orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya. Bukan karena rusak. Tapi sebagai sebuah siklus bersyukur. Ilmu sebagai tasbih berputar, alat insan untuk mendekatkan diri pada Tuhannya, sekuat tenaga. 

Wednesday, June 26, 2024

Seni Bangun Pagi




Ada tiga kata di dalam judul di atas. Seni, Bangun, dan Pagi. Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berbeda, dan tentunya jika dikembangkan, masing-masing bisa memiliki "gravitasi" yang berbeda, yang bisa menciptakan ruang dan waktu untuk merenung. 

Banyak hal yang terjadi saat hidup diisi oleh jadwal yang tak beraturan di setiap minggunya, dan berlangsung lebih dari lima tahun. Tentunya hal itu bisa saja terjadi, saat kita memiliki kesempatan kerjasama dengan orang ber-skill dan memiliki background yang berbeda. Seperti layaknya konstelasi bintang, perbedaan yang terhubung menghasilkan bentuk-bentuk berbeda yang kadang bisa menunjukkan arah untuk orang lain.

Memiliki kegiatan yang berbeda di tiap minggu dan bertemu dengan orang yang berbeda seringkali benar-benar membutuhkan persiapan yang tak juga seminggu. Bisa saja kegiatan yang hanya berlangsung seminggu membutuhkan persiapan hingga enam bulan, khususnya terkait peningkatan kapasitas diri untuk pekerjaan kolaborasi yang akan dilakukan. Pernah terjadi, di sebuah momen kerja kolaborasi dengan Universitas di luar negeri, persiapannya secara tak sengaja justru dilakukan di wilayah masyarakat adat yang memiliki nilai-nilai kuat dalam hal komitmen berhubungan dan berbagi ide. Saat itu pelajaran yang banyak diambil adalah bagaimana mengubah mental model yang berbasis objective oriented, menjadi role oriented. Melakukan sesuatu sesuai peran, dan menjaga peran agar selalu ada di area kontrol kita. 

Hal yang susah, karena seringkali kita mudah sekali untuk ikut campur, melibatkan diri di urusan-urusan yang bukan area kontrol kita, walupun itu masih ada dalam jangkauan panca indera kita. Seperti halnya momen berdoa di masyarakat adat. Walaupun kita sudah memiliki kemampuan menghapal banyak kitab, tentunya di area tertentu, di momen tertentu, ada orang yang sudah punya role sebagai tokoh yang memimpin doa. Di situlah role seorang yang memiliki kapasitas spiritual bisa ikut  men-support  momen tersebut agar terasa lebih dalam hingga momen berdoa menjadi lebih khusyuk secara kolektif. 

Lebih khusyuk dan lebih mudah cair dalam berkonstelasi di jaring-jaring sosial adalah sebuah kekuatan yang harus terus dilatih sepanjang waktu. Cara berkhusyuk yang semakin berkembang, dan cara mengaitkan diri secara sosial juga terus berkembang seiring semakin berkembangnya kompleksitas situasi dan alat-alat pendukungnya. Jika dibuat perumpamaan, seorang pendekar samurai yang terus berlatih akan selalu mendapat tantangan jika ia terikat  dalam konstelasi sosial. Tentunya tantangan itu bisa membuatnya berhenti dalam berjuang, karena mati atau menyerah, atau membuatnya terus bertahan dan berkembang karena merasa ada misi yang belum selesai dituntaskannya.

Energi Membangun

Huhuhu... Empat paragraf di atas terasa kaku, karena memang ditulis dengan energi penuh tekanan (force).. Bisa jadi karena dalam alam bawah sadar saya sedang ada pesan-pesan berupa sesuatu yang harus segera disampaikan. Entahlah. Memang sedang terjadi percepatan pembelajaran di semua hal. Kalo kata seorang rekan spiritualis, makrokosmos sedang berbenah untuk menyiapkan ruang baru yang lebih terhubung. Nah, coba di sisa beberapa paragraf di depan saya akan menulis dengan energi membangun (power). Saya coba kembali ke core judul tulisan, yaitu seni, bangun, dan pagi.

Seni untuk Bertumbuh

Mulai bicara seni. Saya ga akan masuk ke definisi seni secara textbook. Saya lebih melihat seni sebagai ruang bergerak dengan dimensi yang lebih dalam dari sekadar untuk mempengaruhi panca indera. Seni bisa jadi area bermain seorang yang ingin merasakan dirinya yang lebih besar, atau lebih kecil. Yang lebih besar untuk bisa menjadi ruang berkembang bagi yang lain. Yang lebih kecil untuk menjadi  ruang aman berkembang untuk dirinya sendiri. Dengan seni, sesuatu menjadi memiliki "gravitasi". Memiliki kemampuan untuk mencipta ruang dan waktu, sehingga apapun yang dilakukan dengan kesadaran untuk mengaktivasi diri, menjadi momen yang memiliki value.  Syukur-syukur value tersebut bisa ditukar sehingga tercipta capital dan artifak yang tangible, yang bisa menjadi wadah bertumbuh. 

Kembali Bangun

Ada sebuah momen yang mengubah hampir 80% cara berpikir saya mengenai cara menjalani hari. Saya pernah berada dalam sebuah situasi tak menentu yang berlangsung hingga setahun lebih rasanya. Hingga di satu titik terendah saya berdoa lirih pada pemilik jiwa raga, "Ya Tuhan, saya ikhlas, apapun yang terjadi, saya terima." Lalu saya tertidur pulas, salah satu tidur terpulas  saya selama hidup. Paginya saya bangun karena kena semburat sinar pagi. Seraya dalam benak seolah ada yang berkata,"Tuhan tak memberi hari baru untukmu jika kamu sudah "selesai". Hari baru adalah misi baru. Tuntaskan,"  Suara di benak itu begitu membuat saya bersemangat di pagi itu, padahal sedang menghadapi situasi berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar area kontrol saya. 

Di situlah saya berubah. Menjadi seorang penikmat pagi. Penikmat waktu sebelum terjadi. Saya menjadi orang yang hadir minimal satu jam sebelum sebuah acara berlangsung.  Pagi tak lagi hanya area angka yang ada di jam, tapi juga ruang  bergravitasi yang bisa membuat kita berpikir lebih dalam tentang apa misi-misi kita untuk hari ini. 

"Tak datang awal waktu, tak akan ada mestakung," ujar saya pada rekan untuk menyemangati. Karena memang mendapatkan mestakung bisa jadi sebuah kenikmatan yang menyandu. 

Pagi dan Masa Depan

Bagi saya, pagi adalah sebuah gesture semesta yang membentuk dirinya seperti "teras masa depan" yang memiliki pintu ke ruang lain yang belum bisa kita bayangkan. Namun tanda-tandanya sudah terlihat. Pagi adalah ruang transisi yang membuat  kita bisa  ingat untuk  bersiap. Persiapan adalah inti dari sebuah tindakan. Seremeh apapun tindakan, sepenting apapun tindakan, tanpa persiapan akan membuat sebuah tindakan tak "menjadi daging". Tak punya nilai. Gampang dilupakan. Bisa saja itu yang mempercepat kita menjadi pikun dan didera ketakutan berkepanjangan.

Ya kurang lebih itulah tiga hal yang ingin saya utarakan dengan menulis tulisan dengan energi membangun (power) yang saya miliki di pagi ini. Jika tiga kata tersebut digabung menjadi Seni Bangun Pagi, tentunya tiga kata ini adalah sumber tenaga unutk menjadikan diri lebih bergravitasi. Bukan untuk menjadikan yang lain menempel pada kita. Itu hanya nomer sekian dari yang sekian. Gravitasi saat ini sangat penting untuk menciptakan ruang dan waktu, momentum yang bisa mempercepat perbaikan diri, dan sekitar. Jangan pernah terjebak dengan "success story", karena itu membunuh akal. Terus dalami diri, sekitar, dengan memperkuat gravitasi kita. 

Sudah dulu ngetiknya ya. Kopi susunya sudah entek.