Wednesday, July 23, 2014

Memelihara Akal Sehat


Lama tak menulis, bukan karena tak punya ide menulis, bukan karena malas, bukan karena bosan, tetapi memang karena belum waktunya. Banyak hal yang terlewati cukup dengan melihat, merekam, mendata, dan menghilangkan jejak. Banyak hal yang terlewati saat kita harus melatih kelima indera untuk menahan diri. Menahan dari keinginan yang pecah dalam perintah yang memengaruhi indera.

Akhirnya toh menulis lagi, ini pun bukan untuk tujuan tertentu. Hanya ingin untuk menetralkan sedikit rasa janggal yang tak bisa dinetralkan panca indera. Menulis memang salah satu cara menjejakkan diri, mengetahui posisi, mengukur jarak dan sudut memandang saat berpikir.

Rasa janggal yang muncul karena politik yang meliputi hati. Bukan hati yang meliputi kehendak. Akankah kita akan terjajah terus oleh keinginan, di saat keinginan tersebut tak berjejak pada rasa senang? Keinginan yang hanya mengambang di antara ruang-ruang pemahaman dangkal bersobat asumsi?

Dari lumpur-lumpur muncul keinginan untuk memimpin. Dari darah dan masa kelam muncul keinginan untuk menguasai. Dari rasa tunduk muncul  keinginan untuk berbagi rasa senang. Tak ada yang salah, saat yang dipimpin langsung bersepakat. Masalah yang muncul adalah, kesepakatan untuk dipimpin seringkali datang hanya saat kita tak punya tujuan. Hanya ingin  mencari rasa aman.

Para pemilih pemimpin berlumpur merasa bisa berjejak di lumpur. Para pemilih pemimpin berdarah merasa bisa melangkah di gelembung-gelembung ingatan kelam. Para pemilih pemimpin penurut berusaha mencari ruang untuk bersenang-senang.


Jika harus memilih, tentunya bukan pilihan yang membuat umur jadi pendek. Jika harus memilih, tentunya pilihan yang membuat pikiran dan badan tetap sehat. Jika harus memilih, tentunya nurani akan menuntun untuk memilih yang menyehatkan akal.  Karena akal adalah simpul yang mengikat kefanaan kita. Karena saat akal dalam sehat, maka fana kita tak akan terjebak jadi pucat dan sia-sia.

#sebuah renungan pasca pilpres yang hingar-bingar.