Tuesday, November 27, 2012

Menakar Prasangka



Pengemis di waktu-waktu tertentu mengisi persimpangan-persimpangan jalan. Mengisi ujung jalan dengan tiang lampu pengatur lalu-lintas, duduk sila di trotoar dan mulai mengais rejeki.

Jam kerjanya tak diketahui, mungkin 12 jam, mungkin 8 jam, atau kurang dari itu. Tapi (sekali lagi) di waktu-waktu tertentu, mereka memang konsisten mengisi ruang-ruang sudut jalanan.

Tak tahu apakah sudut jalanan adalah tempat paling 'menguntungkan'. Tak tahu juga neraca laba mereka saat  meminta-minta di posisi itu, dibandingkan harus berjalan keliling komplek, mengetuk pagar setiap gerbang rumah.

Mereka sedang berusaha, iya, berusaha meminta.

Di sisi lain, ada sosok-sosok jiwa  yang berusaha memberi, berbagi, dan menyisihkan pendapatan mereka untuk diserahkan ke 'semesta'. Mereka sadar bahwa mereka adalah milik semesta. Mereka berusaha mengaitkan diri dengan semesta dengan cara memberi, berbagi, dan menyisih.

Memberi, berbagi, dan menyisihkan harta adalah sebuah rutinitas yang seringkali menyandu. Tak terasa hampir setengah harta seringkali tersisih. Namun hal itu tak membuat jiwa dan waktu terkorupsi. Hanya mungkin ada satu hal yang seringkali terkorupsi,  ialah prasangka.

Prasangka yang ada sudut hati seringkali terusik saat ingin berbagi. Daftar pertanyaan seolah membumbung tinggi ingin mengonfirmasi apakah yang ingin kita bagi ini benar-benar untuk semesta, ataukah hanya untuk para oportunis yang bermain posisi bawah untuk 'menangkap' harta yang terlempar?..


Terlalu banyak konfirmasi, seringkali justru malah mengurai waktu. Dan hanya menjadikan kita 'pemangsa' skenario Tuhan. Terlalu sering kita merencana, sampai lupa kita malah merencana hubungan antarmanusia, yang sama sekali tak bisa dilakukan saat kita belum mengenal.

Pengemis yang (seolah) penuh derita itu memainkan perannya sebagai penakar rejeki orang, dengan tangannya yang jadi timbangan. Seringkali dengan kelemahan prasangka kita, kita jadi tak tahu siapa yang menjadi pemangsa, kita kah , atau si pengemis.

Merencana, atau bahkan hingga mengikuti sekolah merencana, membuat kita menjadi Tuhan-Tuhan kecil yang berhak menilai orang lain. Padahal kita tak pernah bisa mengetahui seseorang buang air besar seberapa cemplungan. Bahkan kita tak pernah mengetahui seseorang beberapa kali menelan ludah, karena sedang tercengang menatap karya Tuhannya.

Merencana, berprasangka, dan menakar adalah 3 hal yang biasa dilakukan barang ciptaan. Mengenal adalah pengikatnya. Mengenal adalah pintunya. Kita tak pernah bisa melakukan ketiga hal itu tanpa akhirnya melalui pintu pengenalan.

Terlalu banyak orang di luar pintu, yang harus kita kenal. Karena syarat untuk jadi manusia itu simpel, ia bisa membuka pintu. (titik)

No comments: