Friday, February 11, 2011

Haruskah Kita Memahami Jakarta?




Kemarin saya bertemu dengan teman saya yang sedang bingung. Bingung antara bahagia atau khawatir. Anaknya kini lebih percaya sponge bob untuk dijadikan ibunya. Ibunya seorang pekerja media di ibukota, tinggal di "samping" Jakarta, dan mungkin melihat anaknya adalah sebuah pertunjukkan terindah di setiap harinya. Namun saya rasa pertunjukkan yang dibawakan oleh sang Anak di hari itu membuat sang ibu berkendara dengan keterkejutan...

Ada variabel berpikir menarik yang saya dapatkan dari anak tercinta rekan saya ini. Bahwa untuk merasakan dan memahami proses hidup, seringkali kita ga butuh itu namanya pengajaran. Ide spongebob menjadi ibu bagai kembang api di tengah kegelapan. Keliaran indera dan ekplosifnya cara anak mengembangkan daya paham bagaikan mata air inspirasi kita..

Ruang, dengan segala karakteristiknya, mewadahi raga dan barang-barang milik kita. Begitu pula dengan pikiran, dengan segala variabel yang dipikirkannya, menjadi pencetus gerakan kita. Namun, hal itu menjadi tak berbentuk, tak bisa dipahami, saat kita memainkan runutan (timeline) waktunya secara acak. Semua tatanan ruang, dan tatanan pikir jadi tak ada artinya...

Pemahaman seperti itulah yang saya pahami dulu... Tapi cerita rekan saya ini justru membuyarkan pemahaman tersebut. Anak bisa memahami sesuatu secara utuh, tanpa harus melalui proses runut yang biasa kita lakukan saat belajar.

Mentransformasi pikirannya menjadi simbol yang ada di kamar. Itulah kemampuan lebih sang anak. Sang Anak begitu inspiratif untuk membuat pikirannya menjadi simpel, namun tetap nyaman dipandang. Anak melihat pikirannya bertansformasi menjadi sosok-sosok utama yang mengisi cerita hariannya. Atau bisa juga simplifikasi pemikirannya terlihat seperti bibit pohon. Bibit ini bisa jadi apa saja saat ia membayangkan proses tumbuh besar sang pohon. Inilah yang membedakan anak kecil dan orang dewasa. Orang dewasa seringkali terpancing untuk menggeneralisir sebuah fenomena agar mudah dihapal dan mudah diarahkan.

Menggeneralisir adalah sebuah fenomena yang membuat sebuah fenomena "seolah" tertangkap dalam satu simbol. fenomena terlihat seperti pohon besar yang terserabut dari tempatnya, dan disimpan dalam memori. Akar pohon yang begitu kompleks menyebar di tanah tak menjadi kepeduliannya. Menggeneralisir fenomena seringkali menimbulkan persoalan. Karena simbol tidak dijelaskan lagi secara utuh.

Lalu apa hubungannya dengan judul blog ini?... ya karena terlalu banyak fenomena yang digeneralisir dalam simbol-simbol. Dan terlalu banyak persoalan yang ditimbulkan oleh simbol-simbol akibat generalisasi ini. Ini nih contohnya:... Ormas dengan simbol agama, pekerja sehat dengan simbol bike to work, Macet jakarta dengan simbol PaMer PaHa nya... Simbol-simbol ini justru mematikan rasa kita pada keterkaitan waktu. Ingin lari rasanya dari masalah ormas agama dengan isi orang-orang penuh nafsu... Boro-boro ingin mengembangkan cerita yang indah dari simbol-simbol yang ada. Justru hanya ada cerita sinis dan pencarian kambing hitam..

Saya jadi bahagia saat mencoba membuat simplifikasi Jakarta. Yak, saya bayangkan Jakarta seperti paul gurita. Gurita yang memiliki banyak kaki (kemampuan), dan bisa meramal (kelebihan) untuk kemenangan kompetisi-kompetisi yang akan terjadi.. Namun betapa tak solutifnya otak saya saat harus menggeneralisir Jakarta dengan simbol benang kusut... hehehe

Simplify..yes.. Generalize.. no