Sunday, October 23, 2011

Berkarya Tanpa Tersandera?


Memulai karya baru seringkali adalah pekerjaan yang maha berat. Berat karena memang benar-benar harus baru, seperti tanpa keterkaitan dengan karya-karya sebelumnya. Karya baru itu pun berat karena seolah kita harus terlepas dari keterjebakan sentuhan diri kita pada masa lalu.

Hal ini terjadi pada saya dahulu, dan terjadi juga dengan rekan saya, sesama makhluk pembenci hal-hal normatif. Tumben rasanya saya mendapatkan waktu untuk mendengarkan apresiasi darinya, tentang posisi dirinya saat ini. Kata lain "curhat" yang keduluan populer. Istilah curhat agak tak saya sukai, karena seringkali kata curhat menjebak kita untuk subjektif memandang orang.

Ia memulai sesi apresiasi tentang dirinya, dan saya tinggal menikmati. Ia mengapresiasi dirinya yang berada dalam lembah kejenuhan, setelah berkarya hampir setahun di Jakarta. Ia takut dirinya akan memproduksi karya yang "begitu-begitu" saja, gampang tertebak, membludak ke dalam imaji dan gerbang niatnya. "Saya stuck, apa yang harus saya perbuat?" sebuah apresiasi yang diakhiri tanda tanya. Ia bertanya pada saya, yang terus terang saat itu terhenyak karena belum siap menjawab.

Saya berusaha tersenyum. Tersenyum adalah bentuk jawaban yang biasa saya pertama kali lakukan sebelum berkata. Senyuman bisa berjuta makna, layaknya lukisan Monalisa. Satu hal yang pasti adalah senyuman bisa jadi obat, mungkin untuk dia, dan yang pasti untuk saya. Butuh kurang lebih 10 detik untuk saya mencari kata-kata jawaban yang tepat. Karena urusan niat berkarya adalah urusan yang sangat subjektif, namun berdampak pada objective (tujuan) hidup kita.

"Coba Lu pilah lagi urusan lu, mana yang rutin, mana yang benar-benar berkarya," ujar saya. Rutinitas seringkali meninggalkan kesan seperti kita sedang mengisi check list daftar pekerjaan yang nyata-nyata berulang. Sedangkan karya seringkali membutuhkan energi untuk mencari "wangsit" atau petunjuk dari alam, menghaluskannya dalam coretan ide, mengolahnya dalam sistem yang bertumbuh, dan membungkusnya dengan kesan dan referensi terakhir kita.  Berkarya itu seperti menjadikan kita seolah Tuhan, sebuah aktivitas yang agak arogan untuk skala manusia. Namun dengan karyalah kita bisa menunjukkan bahwa kita bukanlah Tuhan. Kita hanya 0/1 nya Tuhan. Rasa lelah dan kehilangan orientasi akan muncul saat kita selesai menyelesaikan sebuah "karya",adalah bukti yang membuktikan bahwa manusia punya batasan. Batasan karya, sesuatu yang sangat manusiawi.

Apa yang dilakukan rekan desainer lainnya saya ceritakan sebagai referensi. Rekan desainer tersebut punya ritual rutin saat telah menyelesaikan sebuah proyek bangunan. Ia akan serius untuk berlibur dan seraya menyerap simbol-simbol alam yang baru. Rekan yang saya ceritakan itu menginvestasikan 50%waktu bekerjanya untuk mengisi ulang energi badannya yang tersalur ke karya terakhirnya. Tak heran setiap karyanya seolah memiliki aura, tak datar seperti wajah pengantin yang tak ikhlas dikawin.

"Lu harus cari waktu untuk kembali ke alam, kembali ke haribaan Ilahi dan mendapatkan simbol dan energi baru," ujar saya berkata sambil terpejam. Terpejam karena pembicaraan ini terjadi setelah saya belum tidur selama 36jam. Selain itu, untuk urusan memberi petuah, saya berusaha menghilangkan peran indera saya. Saya berusaha menggali suara-suara berisik di dalam tubuh, yang seringkali berkata. Suara tubuh yang ternyata adalah suara hati.

"Gue tau lu baru saja menyelesaikan beberapa karya idealis secara beruntun. Ga heran lah kalo kejadian "kopong ide" ini terjadi. Kerja itu rutinitas, karya itu penciptaan entitas. Jangan meremehkan badan kita saat berkarya," ucapan saya meluncur deras seperti orang sok tahu. Tapi saya yakin dengan ucapan saya itu. Saya yakin dengan kesoktahuan saya saat berhasil mendengar suara hati.

"Oke, saya akan cari waktu," ujarnya. Kami pun melanjutkan dengan cerita-cerita hantu. Sebuah cara tersingkat untuk mengurangi keterkaitan dengan ruang dan waktu. Sebuah cara yang singkat juga untuk menghargai daging yang telah membantu ruh ini melewati hari.*








*Teringat dengan lagu Sujiwo Tejo ~Cinta tanpa Tanda, dan ucapannya di twitter: ""Bunuh" panca inderamu, dan rasakan cinta tanpa tanda. Selamat mengarungi cinta yang tanpa tanda".

2 comments:

theagah said...

wah. jadi inget quote film chuck norris..kalau kosong isilah, kalau gatal garuklah :D

Private! said...

bwahahahahaha.. kalo rambosbos cukurlah...