Monday, January 24, 2011

Melintasi Jakarta Tanpa Peluh


Akhirnya...

Hampir empat bulan saya membisu untuk menuliskan kata-kata di udara Jakarta... oh.. saya sudah tidak di jakarta. Terhitung 5 Desember 2010 kemarin, saya telah pindah ke kawasan Japos,Tangerang, surganya para pekerja sub urban ibukota.

Kelahiran anak membuat saya bahagia, namun itu adalah kebahagiaan yang tak bisa terbungkus dalam kata-kata. Terlalu banyak bahagia itu, terlalu banyak judul yang harus saya buat hingga saya merasa, menuliskan kebahagiaan tentang anak bisa-bisa jadi bahagia yang basa basi.

Seperti kata orang galau di halte enam bulan yang lalu, "cinta itu perbuatan, pengorbanan, sama sekali bukan kata-kata"... Itulah yang membuat saya berada dalam dunia kontradiksi untuk curhat dalam kata-kata cinta, empat bulan ini ..

Bahagia, kesal dengan dinamika politik kantor, membuat saya justru fokus memikirkan hal-hal yang bersifat formal. Tugas ya dikerjakan, rencana ya dijalankan. Empat bulan saya tak banyak melakukan hal-hal yang nakal. Nakal, diluar alur perputaran otak. Menulis di blog ini adalah sebuah hal yang nakal...Huh, terasa bukan di tulisan saya ini, empat bulan tak nge-blog membuat tulisan begitu formal, tidak nakal...


Alhamdulillah..

Akhirnya cerita baru pun tertulis...
Kenakalan itu bisa jadi hal yang formal...ternyata..

Tuhan mengirimkan "kenakalan" itu pada saya tadi pagi, dalam bentuk kisah nyata sang penjual bubur.

Istri saya yang supel, menggemari bubur ayam yang dijual di gerobak motor. Motor bergerobak tepatnya. Rasanya enak, ada tongcai (wortel kering yang asin) ala makanan Cina. Enak bukan karena bubur ayam yang bergerobak standar, yang dijual sebelum tukang bubur bermotor ini datang, rasanya seperti air payau. Tapi karena memang bumbunya meresap.

Bubur meresap membutuhkan waktu. rasanya yang enak menimbulkan rasa ingin tahu. Istri saya pun bertanya, "Mas, tinggal di mana, kok bisa siang terus jualannya?," ... "Saya dari Tambun, Mbak"... "Tambun? Bekasi? Jauh tuh Mas"... "Ya mau gimana lagi Mbak, namanya cari uang"... pembicaraan terhenti, karena istri saya masih takjub membayangkan jarak jauhnya...

Perjalanan sang tukang bubur, dari Tambun ke Tangerang adalah sebuah perjalanan yang mungkin melelahkan baginya. Namun peluhnya sudah dibungkus dalam kata-kata, "ya mu gimana lagi mbak, namanya cari uang." Peluhnya adalah sebuah kata-kata kepasrahan.

Saya tak tahu pasti, keterkaitan rasa yang enak itu dengan perjalanan jauhnya. Saya tak tahu pasti, bisa-bisanya kota Jakarta tak lagi jadi target tempat berjual bubur baginya. Ia melintasi Jakarta. Tapi ia tak mencari Jakarta... jakarta kelewatan baginya... Jakarta hanyalah sebuah lintasan waktu.. yang mungkin membantu menggurihkan ramuan buburnya...

No comments: