Monday, April 28, 2008

Makna Doa di Jakarta




Ada saatnya orang-orang Jakarta tertidur, melepas semua beban yang menekan-nekan otaknya. Kadang mimpi menghampiri mereka, berisi sedikit gambaran masa lalu, esok, atau bahkan masa yang tak mereka ketahui. Kadang mimpi hanyalah sedikit gumpalan masalah yang terkolase dengan rapi menjadi fragmen-fragmen cerita, yang kadang sudah dilupakan saat terbangun.

Betapa hidup adalah rasa syukur, yang mengalir dalam darah-darah panas orang-orang penuh keinginan.

Terlihat beberapa sosok bangkit di tidurnya, tak memikirkan apa yang terjadi dalam mimpinya, namun bergegas membasuh wajah dan sedikit bagian tubuh lainnya. Niat bersuci pun dicanangkan dalam hatinya. Berharap dalam kesepian malam teriakan hati terdengar lebih menggema di telinga Yang Kuasa.

Ini hanyalah salah satu doa mereka,penghuni Jakarta di malam hari, ...

I pray to you My Lord
If i could reach Your sky
i never gonna leave You

When i walk in the crowd of the city
my eyes want to see more higher...
so i can see all of them talking loudly

I feel worry now My Lord
Why people cursed themselves..
With arrogances and dominancy

Tell them.. Shout at them loudly
Not the money rules their journey

But always Your sign remains on our step...



Apakah Doa Itu Harapan

...kita bisa memilih..

Doa membuat kita mampu bangkit dikala seluruh badan nyaman dalam lelap.
Berharap rel kehidupan tetap kukuh dan tak membuat kita anjlok atau terlempar ke lembah yang membuat kita kotor. Pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian yang ada di dalam perjalanan kita adalah sebuah anugerah dan beban tugas hidup yang Tuhan berikan.

Kadang beban terasa terlalu berat, namun menurut Yang Kuasa tak pernah ada beban berat yang melebihi kemampuan kemampuan orang-orang Jakarta. Bahkan kematian pun adalah sebuah gerbang bagi ruh untuk mengenal makna baru.

Doa kadang berarti tanya jawab dengan Tuhan. Tanya jawab mengenai makna, warna, dan rasa yang meliputi hari-hari. Dengan kompleksitas peristiwa yang ada di Jakarta, bisa memaknainya adalah sebuah nikmat khusus yang mungkin pantas diberikan pada orang-orang Jakarta.

Memaknai hidup di jakarta dengan cara yang lain, bisa dilakukan dengan cara yang belum kita kenal.Puisi-puisi berbahasa asing dan makna-makna asing kadang butuh untuk kita santap, sebagai sajian pemandangan kereta kehidupan,dan referensi hidup, yang memberikan rasa dan tampilan yang selalu berubah dan berbeda.

Doa di Jakarta, adalah sebuah antitesis masalah Jakarta. Doa Jakarta tak hanya berisi harapan. Tapi juga mantra-mantra pembunuh kutukan arogansi dan dominasi makhluk lain yang hanya ingin puas bila melihat dirinya memuntahkan liur dari atas kepala orang lain...

Hidup di jakarta tak membutuhkan toleransi. Toleransi hanyalah sandiwara kecil dalam sebuah prolog pembukaan pertunjukan drama yang anti happy ending.. Butuh ikatan yang lebih kuat untuk saling berhubungan di jakarta ini. Tak cukup diikat dengan tali karet bernama toleransi.

Monday, April 21, 2008

Diri Kita:"Cermin" Kita,Tempat "Tinggal" Kita,"Kota" Kita.



Minggu(Tanggal 20 April) kemarin, saya berhasil mencapai pencerahan yang lumayan ngaruh sampai ke lubuk hati terdalam (Beuuuu...). Semuanya terjadi setelah menghadiri Green festival di Parkir Timur Senayan Jakarta. Penjelasan dan semua presentasinya memang bagus (menyangkut peningkatan kesadaran kita terhadap ancaman global warming--yang notabene akan menghabisi kita). Tapi bukan disitu letak pencerahan yang saya dapatkan.

Konsep pameran disodorkan dalam bentuk hirarki ruang, sehingga kita seakan berada didalam rumah sendiri. Itulah titik point yang saya dapatkan. Begitu banyak penjelasan mengenai segala teknologi baru dan perbandingan-perbandingan antara kita, konsumen teknologi, dengan alam yang semakin dirusak oleh teknologi itu sangat membuat kita terpana (dan kadang tidak mengerti kenapa mereka bisa nyiptain teknologi kayak gitu :P). Tapi dengan "penataan" ruang ala rumah sendiri, membuat kita merasa lebih merasakan apa yang terjadi di luaran sana.

Paragraf diatas bisa saya jadikan satu kalimat simpel. Memetakan diri sendiri membuat kita lebih merasakan realita yang ada.
Memetakan diri sendiri, bagaimana caranya??
Banyak teori yang bisa menjelaskan mengenai menggali potensi diri sendiri, tapi terlalu berat membahas teori di blog ini, yang lebih banyak berisi mengenai sentilan dari realita.

Karena itu saya lebih senang berbicara dalam bahasa sentilan.
gimana si cara memetakan diri sendiri?...
Apakah harus ngedata dulu apa yang kita miliki dan apa yang kita mampu kerjakan???
Oh tidak, rasanya itu malah mendegradasi kemampuan manusia yang bisa jadi apa saja dengan kemampuan diri sendiri atau dengan jaringan yang dia miliki (yang kadang bisa terus berkembang pesat tanpa terukur). Sekali lagi, jangan kebiri kemampuan otak kita!..
(..bergerak dari data yang ada kadang membuat kita kaku dan bisa menghilangkan ciri kita<--sebuah ciri korban modernitas dan universalisme)

Memerankan Peran "Kita"
Maka satu hal pertama yang harus kita lakukan untuk mengetahui diri sendiri kadang cukup dengan cara membuat/menjalankan skenario peristiwa yang bisa menimpa kita. Beruntunglah para artis teater dan artis film yang sering menerima naskah yang baik dengan peran yang menantang. Namun tak perlu iri dengan artis (lagian jaman sekarang sudah ga musim ngiri dan sakit hati, balas saja dengan prestasi !!!).
Ga harus jadi artis untuk bisa menjalankan sebuah skenario. Kadang dengan melibatkan diri pada sebuah sistem yang berlaku di sekitar kita (misal di kantor) membuat kita 'terhanyut' dalam aliran-aliran ritme hidup baru yang menyebabkan kita memiliki "schedule" yang jelas dalam hidup kita. Schedule yang kadang bisa membenturkan kita pada masalah dengan individu lain, atau malah benturan yang ternyata "tangga" untuk membuat kita menapak lebih tinggi. Solusi menjalankan skenario adalah sebuah solusi untuk para individu yang masih bingung dengan istilah "jadilah diri sendiri".
Menjalankan skenario membuat kita lebih mengenal sebab-akibat dari sebuah cerita. Sebab-akibat itu bagaikan 2 buah simpul tali yang sedang bergantung pada tiang-tiang kehidupan, dan di tali itu akan tergantung karya-karya kita. Inilah titik awal sebuah pemaknaan diri.


Sadarilah Fungsi Waktu
Apa hubungannya waktu dan proses memetakan diri sendiri?
Waktu adalah uang. Itu kata orang sibuk yang memanfaatkan waktu sebagai detik-detik pertukaran dirinya dengan realita. Realita itu kalo kita liat secara pemahaman limitnya matematika sma (beuuu), tersusun dari segmen-segmen peristiwa kecil yang saling terhubung. Segmen itu terus berjalan dan tak pernah berhenti. Semakin kita menyadari segmen-segmen yang terjadi, maka otomatis kita telah ikut terlibat di dalam segmen itu.Keterlibatan ini adalah sebuah bentuk aktualisasi diri kita pada segmen kejadian itu. Ada orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya dengan cara mengabaikan segmen yang terjadi,dan ada juga orang-orang yang menyadari pentingnya perubahan terkecil dari dirinya. Menyadari perubahan terkecil dari diri kita pada segmen waktu yang terkecil, membuat kita mendapatkan gambaran apa yang harus kita lakukan di segmen berikutnya.
Waktu, tak cukup digambarkan dengan uang. Waktu tak cukup dibayangkan seperti lorong. Tapi waktu adalah ruang-ruang hidup, seperti rangkaian ruang mock up di studio foto, yang menuntut kita menjadi model-modelnya. Apakah kita akan memposisikan diri kita menjadi model-model yang gagal?


Menciptakan sejarah

Tokoh negara banyak yang bilang, bangsa yang (bisa) besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Merasa besar bukan berarti sebuah kesombongan. Tapi tak lain adalah bentuk kesadaran atas pengaruh yang bisa kita berikan pada sekitar kita.
Sejarah kita menceritakan, bahwa jaman dulu Sriwijaya pernah menjadi pusat keilmuan agama Budha. Sejarah kita juga menceritakan, bahwa kita bisa memberikan pengaruh kekuasaan sampai ke Birma. Sejarah itu adalah cerminan potensi kita di masa lalu, yang sebenarnya bisa diterapkan di masa kini.
Bukan masalah saling dominasi yang harus kita sadari (karena nilai seperti itu hanya menumbuhkan atmosfer individualistis), tapi aktualisasi diri kita secara positif pada kehidupan di sekitar kita adalah sebuah nilai yang bisa berarti banyak untuk orang lain .
Sejarah adalah portofolio kita. Sejarah adalah pondasi kemandirian kita. Dengan mandiri (bukan individualis), kita bisa memahami realita dengan lebih utuh. Mandiri berarti mampu menjadi subjek, predikat, dan objek realita skaligus, dengan memberikan pemaknaan pada orang lain.
Portofolio dapat disusun bagaikan bab-bab buku, yang tersusun per segmen waktu, dan bagaikan penamaan pada ruang-ruang kosong kita. laksana peta dalam kehidupan kita. Apakah kita senang bila hidup di dalam sebuah tempat yang hanya memiliki peta buta?