Friday, April 28, 2006

JAKARTA SIAGA SATUU!



Tentara dan Polisi kembali berbaris, bergerak menuju lapangan apel di tengah kantor gubernur...
Semua menyiapkan diri menghadapi "Badai Curhat para Buruh" di hari senin mendatang...

Sebuah realita yang pragmatis, ketika penguasa berbicara, mereka bisa memakai senjata sebagai ''stempel" kebenaran atas tindakan-tindakan mereka. Menembak rakyat mungkin dianggap sebuah tindakan yang bisa "memagari" teritori kekuasaan mereka agar tidak bisa dimasuki ego-ego rakyat kecil.

Tahun-tahun ini memang sangat men-jengah-kan, ketika para penguasa terlihat bobroknya, ternyata mereka hanyalah para penjudi, yang mempertaruhkan negeri sendiri untuk mendapatkan keuntungan semu. Kemenangan bagi mereka hanyalah kepuasan sesaat, di saat pundi-pundi mengalir ketika menjual rumah sendiri. Ketika anak-istri kehilangan tempat tinggal dan mulai menangis,mereka panik..Namun dasar penjudi, dianggapnya bertaruh dengan harta sendiri adalah sebuah jalan yang terbaik untuk menolong anak istri.

Harta yang terkuras, rumah yang tergadai, dan anak istri yang menangis,hanyalah sebagian kecil dari warna-warna dan simbol-simbol analogi kebobrokan sifat para penguasa. Mungkin Senin nanti adalah "perang rumah tangga", dimana para istri dan anak teriak minta makan, dan para suami malah marah dan melempar piring-piring agar semua isi rumah terdiam, sehingga istri seraya terisak membiarkan suami pergi begitu saja...pergi untuk berjudi lagi.

Oh..betapa susahnya mencari nafkah, ketika kita lebih suka bergantung , berjudi dan berhutang pada orang yang benar-benar mendapatkan uang dengan cara mencari nafkah...

Lebih baik menjadi orang jahat yang mencari nafkah..daripada menjadi orang baik yang berhutang...mungkin prinsip ini harus menjadi alternatif kepura-puraan baru...prinsip ini jauh lebih baik daripada kita harus mati dalam keadaan putus asa...KARENA BUKAN HANYA MEREKA PARA PENGUASA YANG BERHAK HIDUP...KITA PUN BERHAK UNTUK HIDUP

Thursday, April 27, 2006

WASPADA MERAPI




Pagi, 28April, Jumat Kliwon...

..Gunung yang meletus dan serba-serbinya menjadi santapan utama media-media ibukota. Dari bagaimana cara dan perilaku manusia menyikapi ancaman, sampai kepada tebak-tebakan apa yang akan terjadi setelah gunung merapi meletus.

..."Malam ini merupakan puncak kemungkinan Merapi akan meletus, Saya akan menantinya di rumah, ucapnya. Bagi Ismanto dan Masyarakat Terlebih lagisekarang ini dipercaya adalah siklus 1000 tahunan letusan Merapi....(Sumber Kompas, hari Jumat 28 April 2006)...

Sesaat lagi kita akan melihat kedahsyatan alam. Alam yang berbicara. Saat alam bicara, semua elemen yang "menempel" padanya hanyalah seolah "kotoran-kotoran" yang harus dibersihkan. Dibersihkan kadang berarti juga disadarkan, dibangunkan, atau bahkan ditiadakan. Manusia ditiadakan oleh alam saat alam berbicara.
Sudah menjadi kebiasaan, proses "peniadaan" terhadap sosok manusia akan menjadi drama-drama yang menghebohkan. Dari suara-suara isak tangis, sampai suara-suara doa yang meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan. Bahkan menjadi kesempatan-kesempatan baru bagi manusia-manusia untuk mencari "keuntungan". Mulai dari keuntungan yang bersifat oportunistis, sampai keuntungan yang didapat dari sebuah proses pembelajaran terhadap suatu peristiwa.

Masih kita ingat, betapa tsunami Aceh telah meniadakan ratusan ribu bangsa Aceh. Dan ratusan ribu lainnya yang masih hidup ditantang untuk bangkit dan membalikkan keadaan yang telah dibalik oleh gulungan-gulungan hitam tsunami...
Contoh bencana Aceh adalah sebuah teladan besar dari alam. Bencana Aceh mengingatkan kita, kewaspadaan manusia hanyalah kenisbian.
Ketika nanti letusan datang, maka tak perlu kita menyesalkan kesalahan-kesalahan atas kewaspadaan kita yang masih kurang. Karena toh kita sudah berbuat maksimal untuk tidak mati. Dan itu akan menjadi awal baru untuk menapak hidup yang lebih baik.

SAat alam berbicara telah datang, hal itu bukan untuk kita waspadai, tapi alam berbicara agar kita bisa membersihkan diri... agar kita bisa lebih dekat lagi pada alam , dan agar kita bisa sadar, bahwa kita bukanlah siapa-siapa, dimata Pencipta Alam Semesta